Surakarta, Suarakyat.com, (19/4/2025) – Dr. Al Ghozali Hide Wulakada, S.H., M.H. menyebut ada tiga pihak yang harus bertanggung jawab jika dugaan itu benar adanya: Joko Widodo, PDIP dan partai koalisi, serta Komisi Pemilihan Umum.
Isu dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo kembali menjadi sorotan publik. Menanggapi hal ini, Dr. Al Ghozali Hide Wulakada, S.H., M.H., Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Slamet Riyadi, menilai bahwa penyelesaian persoalan ini harus dilakukan secara terbuka dan melalui mekanisme hukum yang adil serta konstitusional.
“Dalam negara hukum, semua warga negara, termasuk Presiden sekalipun, tunduk pada hukum. Maka ketika ada dugaan pemalsuan ijazah yang digunakan untuk kepentingan pencalonan, itu bukan isu politik semata, tapi juga menyangkut kejahatan administratif, bahkan kejahatan terhadap konstitusi. dan potensi pidana,” jelas Dr. Al Ghozali dalam wawancara dengan Suarakyat.com.
Ia menyebutkan, ada tiga subjek hukum yang harus bertanggung jawab jika dugaan tersebut terbukti benar, yaitu:
1. Joko Widodo selaku pihak yang menyerahkan dokumen sebagai syarat pencalonan,
2. PDIP dan partai-partai koalisinya adalah badan yang mengusung dan yang menggunakan ijaza tersebut demi kepentingan politik mereka”.
3.Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai oknum yang secara resmi menerima, memverifikasi, dan meloloskan berkas pencalonan.
“Jika kemudian terbukti ada pemalsuan atau dokumen tidak sah, maka bukan hanya perorangan yang bisa dijerat hukum, tetapi juga lembaga-lembaga yang lalai atau bahkan turut serta membiarkan kejahatan administratif itu terjadi,” tegasnya.
Konsekuensi Hukum : Lebih lanjut, Dr. Al Ghozali mengutip ketentuan pidana dalam KUHP, khususnya: Pasal 222 KUHP tentang kewajiban memberikan keterangan yang benar kepada pejabat berwenang, Pasal 55 dan 56 KUHP tentang turut serta dan membantu tindak pidana.
“Diamnya seseorang, jika dilakukan dengan kesadaran dan dalam posisi memiliki kewajiban hukum, bisa dikategorikan sebagai turut serta atau membantu kejahatan,” ungkapnya.
Kegaduhan Politik dan Polarisasi Masyarakat, Ia juga mengingatkan bahwa keterlambatan negara dalam menangani isu ini secara objektif justru membuka ruang polarisasi yang semakin tajam di masyarakat.
“Ada kelompok masyarakat yang membela berdasarkan pendekatan historis dan fanatisme, sementara kelompok lainnya mendasarkan pendapat pada pendekatan ilmiah dan logika rasional. Dua-duanya sah secara konstitusional, tetapi ketika tidak ada kejelasan hukum dari negara, maka kegaduhan adalah keniscayaan,” ujarnya.
Harapan untuk Penegakan Hukum, Sebagai penutup, Dr. Al Ghozali menyerukan agar negara tidak gentar menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Menurutnya, penyelesaian yang konstitusional dan terbuka justru akan memperkuat demokrasi dan mengembalikan kepercayaan publik terhadap institusi negara.
“Jangan sampai karena satu persoalan yang dibiarkan, kepercayaan rakyat terhadap hukum hancur. Ini bukan soal siapa yang jadi presiden, tapi soal apakah kita masih menjunjung tinggi kejujuran dan hukum dalam bernegara,” pungkasnya.
Reporter: Jiyono, PS
Editor: Muhamad Sarman