Wamahyaya wamamati: Ketika Negeri ini lupa untuk siapa hidup dan mati
SUARAKYAT.COM – “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An’am: 162)
Kalimat ini bukan sekadar untaian lafaz indah yang kita lantunkan dalam doa. Ia adalah deklarasi totalitas penghambaan, komitmen hidup yang lurus dan suci, yang menempatkan Allah sebagai pusat orientasi seluruh aktivitas manusia—baik yang tampak maupun yang tersembunyi.
Namun, dalam potret realitas negeri ini, terutama ketika kita menengok berita demi berita di media sosial, terasa ironi yang mengiris nurani. Banyaknya kasus korupsi dan yang tersandung banyak dari oknum kalangan orang-orang hebat.
Ketika oknum pejabat publik yang seharusnya menjadi teladan justru tersandung kasus korupsi, kita patut bertanya: di mana letak “wamahyaya wamamati lillahi rabbil ‘alamin” itu dalam hidup mereka? Hidup dan mati yang seharusnya diabdikan untuk Allah, malah tergadai demi dunia yang fana—kursi kekuasaan, tumpukan rupiah, dan pujian manusia. Padahal hidup ini hanya sejenak. Mati itu pasti. Lalu, apa yang akan dibawa?
Negeri ini sedang sakit. Sakit bukan karena kurangnya sumber daya, tapi karena krisis akhlak dan iman. Ini bukan level flu biasa. Ini sudah level Pentium 4, kalau boleh meminjam istilah zaman. Artinya: kerusakan ini sistemik, akut, dan membahayakan.
Saatnya kita kembali bertanya: untuk siapa kita hidup? Untuk siapa kita mati? Mari koreksi niat dan orientasi kita. Jadikan jabatan sebagai ladang ibadah, bukan kendaraan menuju neraka. Jadikan kekuasaan sebagai amanah, bukan alat pemerasan. Negeri ini akan sembuh bukan dengan wacana, tapi dengan keteladanan.
Ingatlah, jabatan itu sementara. Harta itu fana. Tapi catatan amal tidak akan pernah bohong. “Dan barang siapa mengerjakan amal seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasannya).”
(QS. Az-Zalzalah: 7)
Semoga kita termasuk golongan yang benar-benar menghayati kalimat: “wamaḥyāya wamāmātī lillāhi rabbil ‘ālamīn.” Bukan hanya di lisan, tapi juga dalam seluruh gerak hidup kita. (Penulis: Muhamad Sarman)