Rasa Was-was Pekerja Buruh Dalam Bayangan Outsourcing

Rasa Was-was Pekerja Buruh Dalam Bayangan Outsourcing

 

Suarakyat.com – Setiap 1 Mei, langit seperti menghitam oleh kenangan perjuangan. Tangan-tangan buruh yang mengepal ke atas bukan sekadar simbol—itu adalah pekik sunyi dari peluh yang kerap tak dianggap, dari pengorbanan yang tak jarang dibayar murah.

May Day bukan sekadar seremoni. Ia adalah penanda bahwa hingga kini, urusan perburuhan kita belum benar-benar beres. Di balik deretan mesin pabrik, layar komputer, atau peluh di ladang, buruh masih sering menjadi pelengkap derita. Mereka dituntut loyal, tetapi sering diperlakukan seperti angka statistik. Upah minim, jam kerja panjang, dan perlindungan kerja yang lemah jadi cerita lama yang terus berulang.

Dan kini, hadir pula sistem outsourcing—yang bukannya memberi kepastian kerja, justru menambah rasa waswas. Pekerja dikontrak sebentar, digaji kecil, lalu bisa diganti kapan saja tanpa kejelasan nasib. Outsourcing menjauhkan pekerja dari hak-haknya yang paling mendasar: kepastian kerja, tunjangan, dan rasa aman. Di balik dalih efisiensi, sistem ini sering jadi dalih untuk menekan biaya tanpa memikirkan dampaknya pada kehidupan para pekerja.

Ironisnya, saat ada pembangunan, mereka disebut pahlawan. Tapi ketika berbicara soal hak, suara mereka disamakan dengan gangguan. Bahkan unjuk rasa damai sering dipelintir sebagai ancaman stabilitas, padahal substansinya adalah keluh kesah tentang ketimpangan dan ketidakadilan.

Hari Buruh harus menjadi momen refleksi, bukan rutinitas. Sudah saatnya negara benar-benar berpihak pada pekerja, bukan sekadar mendengar tetapi menindaklanjuti. Regulasi yang adil, pengawasan yang tegas, dan jaminan kesejahteraan harus menjadi prioritas.

Buruh bukan sekadar bagian dari sistem ekonomi. Mereka adalah nyawa pembangunan. Maka jika suara mereka masih diredam, bangsa ini belum benar-benar merdeka. (MSar|Suarakyat.com)

Exit mobile version