Ketika Rakyat Diduga Dikorbankan oleh Administrasi yang Lalai, Di Mana APH?
Oleh: Redaksi Suarakyat.com
Di negeri ini, sertifikat tanah dianggap sebagai bukti kepemilikan paling kuat. Namun, bagaimana jika sertifikat itu terbit diduga bukan karena kebenaran, melainkan karena kelalaian aparat birokrasi di tingkat desa? Bagaimana jika fakta diabaikan, dan kesepakatan antar-ahli waris yang sah di mata hukum justru dilangkahi begitu saja oleh program sertifikasi masal?
Inilah yang terjadi pada salah satu warga di Boyolali, sebut saja “Mbah Pitu”, yang telah bertahun-tahun menempati dan mengelola sebidang tanah warisan orang tuanya. Tanah yang telah disepakati secara tertulis sejak tahun 2008—disaksikan oleh kepala desa dan tokoh masyarakat. Bahkan telah diberi batas pondasi permanen. Namun, kenyataannya berkata lain.
Tahun 2020, melalui program PTSL, Tanah itu justru diterbitkan sertifikatnya atas nama para keponakan (sebut saja B, C, D, E) dengan mengabaikan keberadaan Mbah Pitu, Tak satu pun petugas desa saat itu mengingat atau mengacu pada surat pernyataan tahun 2008 yang sah secara hukum dan diketahui oleh desa. Ini bukan hanya kelalaian. Ini adalah pengabaian fakta yang mengakibatkan kerugian nyata bagi Mbah Pitu.
Pertanyaannya, di mana aparat penegak hukum (APH) ketika rakyat kecil kehilangan haknya bukan karena lemah dalam hukum, tapi karena ditinggal oleh sistem yang seharusnya melindunginya? Mbah Pitu dengan segala keterbatasannya sudah berupaya, namun lagi lagi tak berdaya.
Bukankah tugas APH bukan hanya menindak kriminal, tetapi juga mengawasi agar proses hukum berjalan adil, terutama dalam hal agraria yang selama ini menjadi sumber konflik laten di masyarakat?
Apakah APH hanya akan bertindak ketika rakyat miskin sudah harus menjerit ke media? Haruskah kasus kecil seperti ini menunggu viral lebih dulu untuk mendapat perhatian?
Bukan Hanya Salah Desa, Tapi Salah Sistem
Kami tak menafikan bahwa desa punya peran besar dalam pengurusan administrasi pertanahan. Namun ketika desa menjadi bagian dari tim PTSL, tanggung jawab hukumnya bukan lagi administratif semata, melainkan menyangkut hak dasar warganya termasuk Mbah Pitu yang sudah usia senja.
Surat hibah yang konon dibuat untuk “menghibahkan” sebagian tanah ke Mbah Pitu, sebagai kompensasi pun sampai hari ini tak kunjung direalisasi. Bukan karena tak ada itikad, tapi karena rakyat miskin itu tak mampu membayar biaya pecah sertifikat. Sementara negara terus bicara “agraria untuk rakyat”.
APH, Dengarlah Suara Rakyat
Kami hanya ingin menyampaikan bahwa keadilan itu tidak harus mahal. Tak semua konflik harus dibawa ke pengadilan jika aparat negara hadir sejak awal dan bekerja jujur. Mungkin Mbah Pitu pun tidak mengalami nasib yang sangat mengenaskan sudah tua hidup bersama suami tuna netra, tanpa keturunan.
Kami percaya, masih banyak penegak hukum yang punya nurani. Tapi kami juga sadar, nurani itu tak akan terdengar jika rakyat kecil terus dibiarkan bicara sendiri. Tanpa ada yang peduli.
Maka kami berharap, —baik dari pemerintah desa dan BPN —mau turun dan membuka mata. Lihat kasus-kasus seperti ini. Buka kembali dokumen lama. Baca surat-surat kesepakatan yang telah diteken rakyat dan tokoh desa. Jangan biarkan sertifikat menjadi alat penindasan baru, hanya karena desa lalai dan rakyat tak mampu membayar biaya pecah.
Kami, rakyat, masih percaya hukum. Tapi jangan paksa kami kehilangan harapan karena hukum hanya memihak mereka yang mampu membayar prosedur.
Suarakyat.com – Karena Keadilan Milik Semua, Bukan Hanya Mereka yang Bersertifikat.
Disclaimer:
Tulisan ini disusun berdasarkan informasi dan kronologi yang disampaikan oleh narasumber serta ditinjau dari sudut pandang hukum agraria secara umum. Nama-nama yang digunakan dalam artikel merupakan inisial atau samaran demi menjaga privasi semua pihak.
Gambar atau ilustrasi yang ditampilkan bukan dokumentasi kejadian sebenarnya, melainkan visualisasi generik untuk mendukung narasi dan meningkatkan pemahaman pembaca. Jika ada kesamaan dengan individu atau tempat tertentu, hal tersebut bersifat kebetulan semata dan tidak disengaja.
Redaksi Suarakyat.com menghargai setiap bentuk klarifikasi, hak jawab, maupun permintaan koreksi dari pihak-pihak yang merasa dirugikan atas pemuatan artikel ini. Segala bentuk keberatan dapat disampaikan melalui kanal resmi redaksi.