banner 728x250

Ketika Keadilan Tidak Ramah Untuk Orang Miskin

banner 120x600
banner 468x60

Ketika Keadilan Tidak Ramah Untuk Orang Miskin

Oleh: Jiyono|Pemerhati Sosial|Ketua LSM GAKI Jawa Tengah.

banner 325x300

Di sebuah sudut desa di Boyolali, hidup seorang perempuan renta bernama Mbah Tuki. Usianya sudah senja. Ia tinggal bersama suaminya yang buta total, hidup seadanya, mengandalkan belas kasihan tetangga, bahkan untuk sekadar menyambung hidup sehari-hari.

Mbah Tuki tak punya anak. Satu-satunya warisan yang ia jaga bukan emas atau rumah mewah, melainkan sebidang tanah peninggalan orang tuanya yang sudah sejak lama dibagi secara lisan dan tertulis kepada dirinya dan keponakannya. Pada tahun 2008, pembagian itu diresmikan dengan surat pernyataan yang ditandatangani, disaksikan tokoh masyarakat, dan distempel resmi oleh kepala desa. Sebuah batas pondasi permanen juga dibuat di atas tanah tersebut sebagai penanda kepemilikan masing-masing pihak.

Namun semuanya berubah pada tahun 2020, saat program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) hadir di desanya. Masyarakat awam menyambutnya sebagai angin segar—janji kepastian hukum atas tanah mereka. Tapi bagi Mbah Tuki, PTSL justru membuka pintu nestapa.

Tanpa sepengetahuannya, tanah yang selama ini ia tempati didaftarkan atas nama keponakannya. Sertipikat pun keluar. Ketika Mbah Tuki menyampaikan protes sambil membawa surat pernyataan tahun 2008, semuanya terasa sia-sia. Jawaban pihak desa: “Sudah jadi sertipikat, dasarnya leter C masih atas nama orang tua keponakan.”

Keadilan yang Tak Ramah untuk Orang Miskin

Yang lebih menyakitkan, keponakan yang sebelumnya sepakat membagi tanah itu, kini justru muncul dengan surat “hibah”. Bukan mengakui hak Mbah Tuki yang sudah 15 tahun menjaga dan menempati tanah itu, malah membuat seolah Mbah Tuki diberi kebaikan—padahal ia hanya sedang meminta haknya kembali.

Ironisnya, hingga hari ini, surat hibah itu belum juga direalisasikan. Dan Mbah Tuki, yang sudah tua renta dan nyaris tak punya daya, tidak mampu menempuh upaya hukum. Bahkan untuk makan saja ia masih berharap uluran tangan tetangga.

Lalu kepada siapa lagi Mbah Tuki harus mengadu?

PTSL: Program Baik, Tapi Rawan Menyengsarakan

PTSL sejatinya adalah program yang baik—memastikan setiap bidang tanah punya legalitas. Namun pada praktiknya, di banyak daerah seperti Boyolali, panitia PTSL justru abai terhadap wong cilik. Mereka tidak memverifikasi secara menyeluruh kepemilikan fisik, penguasaan riil, atau surat pernyataan lokal yang menjadi acuan pembagian tanah secara musyawarah keluarga.

Dalam kasus Mbah Tuki, kelalaian panitia PTSL menjadi sebab utama hilangnya hak rakyat kecil. Apakah ini sekadar “kelalaian administratif”? Tidak sesederhana itu. Jika akibat dari kelalaian adalah penderitaan permanen bagi orang miskin, maka ini bukan sekadar salah prosedur. Ini pengabaian terhadap asas keadilan, dan bisa disebut sebagai bentuk maladministrasi.

Kemana Harus Mbah Tuki Mengadu?

Jika masih ada nurani hukum di negeri ini, maka langkah-langkah berikut seharusnya dilakukan:

1. Pengaduan ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI), atas dugaan maladministrasi oleh panitia PTSL.

2. Permohonan pendampingan ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH), agar hak-hak Mbah Tuki bisa dibela tanpa biaya.

3. Mediasi ulang di kantor desa, dengan menghadirkan pihak BPN, kepala desa, saksi 2008, dan keluarga, agar ada pengakuan tertulis bahwa Mbah Tuki adalah pemilik sah bagian tanah tersebut.

Namun semua itu perlu dorongan dan keberpihakan. Pertanyaannya: apakah hukum dan perangkat desa mau membela rakyat kecil yang lemah, buta huruf, dan tak berdaya?

Negara Ini Merdeka, Tapi Belum Bebas dari Ketidakadilan

Kisah Mbah Tuki adalah potret nyata negeri yang katanya merdeka, namun masih menyisakan luka-luka hukum yang tak tersembuhkan. Di saat para elit bisa mengamankan ribuan hektar tanah, seorang nenek tua bahkan tak bisa mengamankan sepetak tanah tempatnya bernaung.

Maka, jangan salahkan rakyat jika mereka mulai kehilangan kepercayaan. Karena keadilan yang seharusnya turun ke bumi, justru terlalu sibuk mengurus mereka yang berdasi dan punya kuasa.

Boyolali, 2025 — Dari Suarakyat.com, suara hati nurani untuk mereka yang tak pernah dianggap.

banner 325x300

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *