banner 728x250

Opini: Polemik Sertipikat Tanah Oro-Oro di Wonoharjo — Antara Iktikad Warga, Jerat Hukum, dan Luka Sosial

banner 120x600
banner 468x60

Opini: Polemik Sertipikat Tanah Oro-Oro di Wonoharjo — Antara Iktikad Warga, Jerat Hukum, dan Luka Sosial

Boyolali, Suarakyat.com – 9 Agustus 2025, Desa Wonoharjo, Kecamatan Kemusu, Boyolali, kini jadi buah bibir. Bukan karena pesta panen, melainkan geger polemik sertipikat tanah yang menyeret mantan kepala desa ke ranah hukum.

banner 325x300

Kisahnya bermula dari tanah “oro-oro” atau tanah OO — lahan kosong yang sejak zaman nenek moyang telah dikuasai secara fisik oleh sekitar 40-an warga. Bagi mereka, tanah ini bukan sekadar sebidang lahan, tetapi bagian dari sejarah keluarga dan sumber penghidupan.

Pada tahun 2018, warga sepakat mengurus sertipikat resmi ke BPN melalui jalur pemerintah desa. Seorang warga bahkan mengaku, “Bayar berapapun mau, asal bisa jadi sertipikat.” Kesepakatan pun tercapai: Rp 2,5 juta per bidang sebagai ongkos pengurusan. Semua dilakukan terang-terangan, tanpa protes.

Namun di Februari 2025, bak petir di siang bolong, laporan pungli masuk ke aparat. Mantan kepala desa yang menjabat saat itu dipanggil dan kini harus berurusan dengan hukum.

Yang membuat situasi ini lebih memilukan adalah kenyataan bahwa Sekretaris Desa (sekdes) yang menangani administrasi sudah meninggal dunia, begitu pula salah satu warga yang menjadi petugas lapangan. Lebih tragis lagi, bukti fisik berupa kwitansi dan catatan pembayaran Rp 2,5 juta per bidang tidak ada—yang tersisa hanyalah pengakuan lisan para warga bahwa mereka membayar secara sukarela.

“Kami sudah ikhlas bayar. Ini kemauan kami, bukan paksaan. Bukan juga akal-akalan pak mantan kades,” tegas salah satu warga.

Kacamata Hukum

Dalam hukum positif, pembuktian adalah kunci. Tanpa kwitansi atau dokumen pendukung, kasus ini rawan bergantung pada kesaksian. Sayangnya, saksi kunci dari pihak aparat desa sudah tiada. Situasi ini menimbulkan dilema: bagaimana menegakkan hukum dengan bukti minim, sambil tetap menjaga rasa keadilan bagi semua pihak?

Tanah oro-oro pada prinsipnya adalah tanah negara yang bisa dimohonkan haknya. Proses sertifikasi bisa melalui jalur reguler atau program PTSL. Biaya resmi diatur negara, dan setiap pungutan di luar ketentuan harus jelas dasar hukumnya. Masalah di Wonoharjo timbul karena biaya yang dibayar warga jauh di atas tarif resmi PTSL, meski mereka mengaku rela dan tanpa paksaan.

Catatan Opini

Kasus Wonoharjo ini bukan semata tentang uang atau pungli. Ini tentang benturan antara aturan tertulis dan realitas sosial di desa. Warga ingin kepastian hukum, rela membayar, tetapi negara punya tarif resmi dan prosedur ketat. Ketika bukti fisik hilang, saksi kunci meninggal, dan niat awal warga diabaikan, proses hukum berpotensi kehilangan rasa keadilan.

Hukum seharusnya menimbang konteks, bukan hanya teks. Sebab tanpa mempertimbangkan niat, sejarah, dan realitas lapangan, hukum bisa berubah menjadi palu yang memukul orang yang justru ingin taat.

Kontributor : Jiyono, PS|Editor: MSar| Suarakyat.com

 

 

Disclaimer:
Tulisan ini merupakan laporan dan opini berdasarkan keterangan warga Desa Wonoharjo, Kecamatan Kemusu, Boyolali. Informasi yang disampaikan mencerminkan pandangan narasumber dan kondisi yang diceritakan kepada penulis. Proses hukum yang sedang berlangsung sepenuhnya menjadi kewenangan aparat berwenang. Suarakyat.com tidak bermaksud memutuskan benar atau salahnya pihak-pihak terkait sebelum ada putusan hukum yang berkekuatan tetap (inkracht).

banner 325x300

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *