banner 728x250

Emang Mbahmu Bisa Bikin Tanah?” — Pernyataan Nusron Wahid Tuai Sorotan, Sentil Falsafah Jawa

banner 120x600
banner 468x60

Emang Mbahmu Bisa Bikin Tanah?” — Pernyataan Nusron Wahid Tuai Sorotan, Sentil Falsafah Jawa

Boyolali, Suarakyat.com – 12 Agustus 2025 – Ungkapan “Emang mbahmu bisa bikin tanah?” yang dilontarkan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid menuai gelombang kritik dari berbagai pihak. Ucapan tersebut disampaikan Nusron dalam acara Ikatan Surveyor Indonesia di Jakarta pada Rabu (6/8/2025), saat menjelaskan konsep penguasaan tanah di Indonesia.

Menurut Nusron, tanah pada dasarnya dimiliki negara dan rakyat hanya diberikan hak penguasaan, bukan kepemilikan mutlak. Ia mempertanyakan klaim tanah leluhur dengan pernyataan yang kemudian viral di media sosial.

banner 325x300

> “Orang itu hanya menguasai… saya mau tanya, emang mbah-mbah atau leluhur bisa membuat tanah?” ujar Nusron.

Reaksi Keras dari DPR

Anggota Komisi II DPR RI, Muhammad Khozin, menilai pernyataan tersebut provokatif dan tidak pantas diucapkan seorang pejabat negara. Menurutnya, kebijakan penertiban tanah terlantar memang diatur dalam PP No. 20 Tahun 2021, tetapi itu hanya berlaku untuk tanah berstatus HGU (Hak Guna Usaha), HGB (Hak Guna Bangunan), dan HP (Hak Pengelolaan).

Khozin menegaskan, tanah hak milik (SHM) tidak bisa begitu saja disita hanya karena tidak digunakan. Ia meminta pejabat publik berhati-hati dalam memilih kata agar tidak memicu keresahan.

> “Jangan bikin narasi provokatif. Pejabat itu harus memberi edukasi, bukan menambah kegaduhan,” tegasnya.

Klarifikasi dari Kementerian ATR/BPN

Menanggapi polemik tersebut, pihak Kementerian ATR/BPN memberi klarifikasi bahwa penertiban tanah terlantar hanya menyasar tanah HGU dan HGB yang tidak dimanfaatkan secara produktif.
Proses pengambilalihan juga tidak instan, melainkan melalui peringatan berjenjang selama ±578 hari (sekitar 1,5 tahun), sesuai prosedur hukum yang berlaku.

Falsafah Jawa: Tanah adalah Nyawa

Dalam falsafah Jawa, dikenal ungkapan “Sedumuk bathuk, senyari bumi”, yang berarti “Seujung dahi, sejengkal tanah”. Maknanya, untuk urusan tanah, orang Jawa rela mempertaruhkan nyawa demi mempertahankan haknya.
Tanah bukan sekadar aset materi, melainkan bagian dari kehormatan, identitas, dan warisan leluhur. Di balik setiap bidang tanah, ada sejarah panjang perjuangan, keringat, bahkan darah para pendahulu untuk mendapatkannya—entah dari hasil membuka hutan, menggarap lahan tandus, atau membelinya dengan susah payah.

Karena itu, pernyataan seperti yang disampaikan Menteri ATR/BPN dinilai sebagian masyarakat sebagai tidak menghargai nilai historis dan pengorbanan nenek moyang dalam memperoleh tanah.

Rakyat Bicara

Di media sosial, banyak warganet merasa ucapan Nusron terkesan meremehkan nilai historis dan emosional tanah warisan keluarga. Sebagian menilai, kebijakan semestinya disosialisasikan dengan bahasa yang santun agar masyarakat memahami tujuan tanpa merasa direndahkan

Polemik ini menjadi pengingat bahwa kebijakan publik bukan hanya soal substansi hukum, tapi juga seni berkomunikasi. Dalam isu tanah, bahasa yang digunakan harus mempertimbangkan kearifan lokal, karena bagi banyak rakyat Indonesia, tanah adalah bagian dari jiwa.
[Redaksi suarakyat.com]

banner 325x300

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *