banner 728x250

Renungan 80 Tahun Kemerdekaan: Negara Republik Indonesia.

banner 120x600
banner 468x60

Renungan 80 Tahun Kemerdekaan: Negara Republik Indonesia.

Oleh : Redaksi Suarakyat.com.

banner 325x300

Disclaimer: Tulisan ini merupakan opini yang ditulis untuk kepentingan refleksi dan diskursus publik. Informasi yang termuat bersumber dari pemberitaan dan wacana yang berkembang di ruang publik. Penulis tidak bermaksud menyerang pribadi atau lembaga manapun, melainkan mengajak pembaca untuk merenungkan kondisi demokrasi, hukum, dan politik Indonesia setelah 80 tahun merdeka.

Indonesia genap berusia 80 tahun merdeka. Setiap bulan Agustus rakyat kecil selalu diajak untuk merayakan kemerdekaan dengan penuh suka cita: lomba di kampung, tirakatan, doa bersama, dan upacara bendera. Namun di balik semua perayaan itu, tersisa ruang hening untuk merenung: sudahkah kita benar-benar merdeka dari ketidakadilan, dari politik transaksional, dan dari hukum yang bisa diperjualbelikan?

Baca juga :

Warga Dusun Wonosari Gelar Malam Tirakatan Sambut HUT RI ke-80

APTIKNAS Pamer Teknologi Kota Cerdas di IISMEX 2025, Gratis untuk Umum!

Fenomena terbaru yang jadi sorotan publik adalah aksi berjoget para anggota DPR dalam sidang paripurna di Senayan. Alih-alih menjadi forum terhormat untuk membahas agenda bangsa, momen itu justru viral di TikTok karena dianggap melecehkan keseriusan sidang kenegaraan. Dalam kondisi rakyat menghadapi kesulitan ekonomi, tontonan joget berjamaah pejabat publik seakan mempertebal jarak antara rakyat dan wakilnya.

Tidak berhenti di situ, kasus Silfester yang terkesan kebal hukum makin memperparah luka kepercayaan rakyat. Rakyat kembali disuguhi pemandangan bagaimana hukum bisa tumpul ke atas, tajam ke bawah. Narasi bahwa “apapun bisa dibeli sesuai pesanan” terasa semakin nyata, membuat rakyat kecil merasa hukum tidak lagi jadi pelindung, melainkan alat transaksi.

Lalu muncul panggung debat publik. Di satu sisi, podcast Abraham Samad menghadirkan gagasan serius tentang pemberantasan korupsi, membuka ruang diskusi jernih. Di sisi lain, panggung debat Aiman sering kali penuh dengan sorak-sorai dan kegaduhan, membuat masyarakat bertanya-tanya: mana sebenarnya ruang publik yang benar-benar mencerdaskan, dan mana yang hanya memproduksi gaduh tanpa substansi?

Ketiga fenomena itu—joget DPR, kasus Silfester, dan gaduhnya panggung debat publik—mencerminkan satu hal: demokrasi kita belum sepenuhnya dewasa. Rakyat masih sering jadi penonton, sementara elit asyik dengan panggungnya sendiri.

Delapan puluh tahun merdeka, kita patut bertanya: apa makna kemerdekaan jika hukum bisa diperjualbelikan, jika lembaga terhormat jadi panggung joget, dan jika ruang publik lebih gaduh daripada mencerdaskan? Rakyat hanya berharap, kemerdekaan ke depan bukan lagi sekadar seremonial, tapi benar-benar menghadirkan keadilan dan keberpihakan bagi semua. Salam Nalar Akal Waras. Merdeka…!!!

banner 325x300

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *