DPR Ngekost: Hiburan Politik atau Cermin Jurang Empati?
Catatan Redaksi:
Tulisan ini merujuk pada isu yang viral di media sosial mengenai pernyataan salah satu anggota DPR. Konten ini disajikan sebagai opini publik untuk memberi ruang refleksi dan diskusi, bukan sebagai klaim resmi mengenai kebenaran pernyataan tersebut.
Oleh: Muhamad Sarman|Redaktur suarakyat.com
Belum lama ini publik dihebohkan—terutama di jagat media sosial—dengan potongan video seorang anggota DPR yang mengeluh bahwa dana harian sebesar Rp3 juta tidak cukup untuk membayar biaya kost. Ungkapan ini langsung menuai kontroversi, sebab bagi sebagian besar rakyat, jumlah Rp3 juta itu nilaiysng besar, dan bukan sekadar uang saku harian, melainkan modal hidup sebulan penuh.
Baca juga:
FORSIMEMA-RI: Pesan Moral Ketua MA di HUT MA ke-80 adalah Wujud Komitmen Bersama yang Wajib Diteladani
Fenomena seperti ini bukanlah hal baru. Rakyat seakan terus disuguhi “hiburan politik” yang episodenya bersambung tanpa henti. Hari ini soal DPR ngekost, besok mungkin berganti judul dengan cerita berbeda, tetapi substansinya sama: keluhan tentang fasilitas dan dana yang dianggap kurang, padahal di balik itu rakyat masih berjuang memenuhi kebutuhan pokok.
Politik Sebagai Sinetron
Kita sering melihat para politisi tampil bak aktor sinetron: ada yang mengeluh, ada yang berlagak pahlawan, dan ada pula yang berpura-pura menjadi korban. Sayangnya, yang dipertontonkan justru hal-hal remeh yang tidak menyentuh inti persoalan rakyat. Media massa dan media sosial pun ikut memperbesar isu karena sifatnya kontroversial dan cepat viral, sehingga perhatian publik tersedot ke “drama” politik, bukan pada pengawasan DPR terhadap anggaran atau kebijakan publik.
Jurang Empati
Pernyataan bahwa Rp1 juta per hari tidak cukup jelas menunjukkan adanya kesenjangan empati. Bagaimana mungkin seorang wakil rakyat merasa kekurangan dengan nominal sebesar itu, sementara jutaan rakyat hanya mampu bertahan hidup dengan Rp50 ribu sehari? Inilah bukti nyata bahwa sebagian elite politik hidup di dunia yang berbeda dengan kenyataan rakyat.
Baca juga:
LSM GAKI Gelar Munas, Budi Kristanto Terpilih Aklamasi sebagai Ketua Umum 2025–2030
Rakyat Jadi Penonton
Alih-alih menjadi pusat perhatian, rakyat justru selalu ditempatkan sebagai penonton yang disuguhi tontonan politik bersambung. Episode demi episode berlalu, tetapi persoalan mendasar seperti harga kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja tetap tidak terselesaikan.
Penutup
Kasus “DPR ngekost” yang viral di media sosial hanyalah salah satu potret bagaimana politik sering kali menjadi hiburan daripada solusi. Rakyat berhak menuntut agar para wakilnya tidak sekadar berakting di panggung, melainkan benar-benar bekerja memperjuangkan kepentingan masyarakat. Sebab pada akhirnya, yang dibutuhkan rakyat bukanlah drama politik, melainkan kebijakan nyata yang meringankan beban hidup sehari-hari.