Opini Publik: Wisata Desa Dikelola Pihak Ketiga: Manfaat, Risiko, dan Pembelajaran untuk Warga
Suarakyat.com – Minggu 24/8/2025, Di banyak desa, kehadiran wisata bak pisau bermata dua. Ada desa yang maju karena wisata, tapi ada pula warga yang merasa hanya jadi penonton. Pertanyaannya: apakah wisata benar-benar untuk rakyat, atau hanya dinikmati segelintir orang?
“Jangan sampai wisata desa gemerlap di luar, tapi kosong makna bagi warga sendiri.”
Potensi wisata di desa sering kali menjadi daya tarik investor atau pengelola swasta. Mereka datang membawa modal, membangun fasilitas, lalu mengelola wisata dengan strategi promosi besar-besaran. Dari luar, desa tampak semakin maju. Namun di balik itu, muncul pertanyaan: apakah wisata benar-benar membawa manfaat untuk semua warga, atau justru hanya dinikmati segelintir orang saja?
Bca juga :
Tajuk Rencana: Keberadaan Relawan Politik dan Mulai Tergesernya Gotong Royong
Manfaat yang Bisa Dirasakan Warga
Tidak dapat dipungkiri, kehadiran pihak ketiga sering memberi dampak positif yang nyata. Lapangan kerja terbuka: warga bisa bekerja di tiket, parkir, kuliner, homestay, atau transportasi. Ekonomi desa bergerak: warung, toko, dan jasa lokal ikut hidup karena ramainya wisatawan. Fasilitas desa membaik: jalan, listrik, hingga internet sering ditingkatkan karena kebutuhan wisata. Promosi lebih luas: desa lebih dikenal, bahkan bisa mendatangkan wisatawan dari luar daerah.
Pendapatan untuk desa: jika ada perjanjian yang jelas, desa mendapat bagian keuntungan atau retribusi untuk kas desa/BUMDes.
Risiko dan Dugaan Hanya Dinikmati Segelintir Orang
Namun, tidak sedikit warga yang justru merasa terpinggirkan. Keuntungan besar mengalir ke pihak luar, sementara warga hanya dapat sisa. Harga-harga naik, membuat kebutuhan sehari-hari warga ikut mahal. Kenyamanan terganggu: macet, bising, hingga sampah menumpuk. Lingkungan terancam: lahan pertanian berkurang, sumber air berkurang, atau alam rusak. Budaya lokal terpinggirkan karena pengelola lebih fokus pada keuntungan.
Kurang transparansi: kontrak atau MoU dengan investor sering tidak dibuka, memunculkan dugaan bahwa hasil besar hanya dinikmati segelintir orang yang punya akses langsung.
Agar Warga Tidak Gagal Paham
Supaya wisata benar-benar membawa manfaat, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1. Transparansi perjanjian – kontrak harus terbuka dan diketahui warga.
2. Porsi keuntungan untuk desa – misalnya prosentase hasil masuk kas desa atau BUMDes.
3. Prioritas tenaga kerja lokal – pengelola wajib menyerap warga sekitar sebagai pekerja utama.
4. Forum komunikasi desa – agar ada ruang resmi bagi warga menyampaikan aspirasi.
5. Perlindungan lingkungan dan budaya – aturan tegas agar alam dan tradisi desa tidak dikorbankan.
6. Evaluasi berkala – kontrak tidak boleh terlalu panjang tanpa ditinjau ulang, misalnya setiap lima tahun.
Baca juga :
Diduga Hendak Tawuran, Mobil Plat Merah Ugal-ugalan Hampir Tabrak Anak di Dukuh Logerit
Wisata desa memang menawarkan harapan besar, tetapi tanpa pengelolaan yang bijak bisa berubah menjadi masalah baru. Manfaatnya bisa nyata, tapi risikonya juga tidak kecil. Kuncinya ada pada keterbukaan, keadilan, dan musyawarah.
Jangan sampai wisata desa hanya gemerlap di permukaan, sementara hasil besarnya hanya dinikmati segelintir orang. Desa harus berdiri tegak, memastikan bahwa wisata benar-benar menghadirkan kesejahteraan bersama, bukan sekadar keuntungan untuk pihak luar.
[Penulis|MSar|Redaktur suarakyat.com]
Disclaimer
Artikel ini disusun sebagai bentuk edukasi dan opini publik mengenai dinamika pengelolaan wisata desa oleh pihak ketiga. Isi tulisan bertujuan memberikan gambaran manfaat, risiko, serta pembelajaran bagi warga agar lebih memahami situasi. Segala contoh, pernyataan, maupun dugaan yang disampaikan bersifat umum dan tidak ditujukan kepada individu, lembaga, atau pihak tertentu secara spesifik.