Tajuk Rencana: Keberadaan Relawan Politik dan Mulai Tergesernya Gotong Royong
Relawan sejatinya lahir dari semangat kerelawanan: bekerja tanpa pamrih, mengorbankan waktu, tenaga, bahkan harta demi kepentingan bersama. Nilai itu sesungguhnya selaras dengan budaya luhur bangsa: gotong royong. Namun, dalam realitas politik hari ini, istilah relawan justru semakin kabur maknanya.
Menjamurnya relawan politik untuk tokoh tertentu pada satu sisi memang menunjukkan tingginya partisipasi masyarakat. Warga merasa punya wadah untuk menyampaikan dukungan, sekaligus menunjukkan aspirasi politiknya. Tetapi di sisi lain, fenomena ini berpotensi mereduksi nilai gotong royong yang selama ini tumbuh murni dalam kehidupan rakyat.
Gotong royong lahir dari kebutuhan hidup bersama—membangun rumah tetangga, membersihkan saluran air, atau menolong korban bencana—tanpa embel-embel kepentingan politik. Semua dilakukan demi kebersamaan, bukan demi figur tertentu. Relawan politik, sebaliknya, kerap memusatkan aktivitas pada satu tokoh, bahkan tidak jarang dibungkus dengan atribut, agenda, dan logistik yang sarat kepentingan elektoral.
Baca juga :
Opini Publik: Rakyat yang Gagal Paham, atau DPR yang Salah Hitung?
Kini, bahkan di ruang publik digital seperti media sosial, pergeseran itu terlihat nyata. Saat rakyat berharap debat politik membicarakan persoalan mendasar—harga kebutuhan pokok, lapangan kerja, pendidikan, kesehatan—yang justru ramai muncul adalah pernyataan “saya atas nama relawan ini, saya dari relawan itu.” Panggung debat yang mestinya menghadirkan adu gagasan demi rakyat, akhirnya lebih banyak dihiasi simbol kebanggaan kelompok relawan.
Ironisnya, yang berdebat di panggung politik adalah orang-orang dengan julukan “hebat”, tokoh elit yang sudah mapan. Namun gema yang terdengar di bawah justru riuh rendah relawan yang getol menyuarakan kepentingan kelompoknya, bukan lagi suara rakyat kebanyakan. Relawan yang seharusnya menjembatani justru kerap terjebak dalam glorifikasi tokoh, sehingga substansi isu rakyat tersisih dari percakapan publik.
Lebih jauh, ketika relawan sudah mendominasi arena politik, perhatian pada penegakan hukum ikut kabur. Tokoh-tokoh yang terjerat kasus hukum tak kunjung ada pergerakan nyata. Sebaliknya, hukum justru sering diarahkan untuk membidik lawan politik, bukan menegakkan keadilan secara murni. Pemandangan semacam ini membuat rakyat lelah, capai, dan pada akhirnya kehilangan rasa percaya. Pertanyaan besar pun menggantung di benak masyarakat: negeri ini sebenarnya mau dibawa ke mana?
Bahaya yang mengintai adalah pergeseran budaya sosial. Kegiatan sosial yang dulu netral, kini mudah dilabeli sebagai kerja relawan dari tokoh tertentu. Solidaritas masyarakat bisa terbelah, gotong royong menjadi bersyarat, dan ikatan sosial perlahan digantikan loyalitas politik.
Lebih dari itu, keberadaan relawan politik sering menimbulkan friksi di akar rumput. Antarrelawan saling klaim paling dekat dengan sang tokoh. Tidak jarang pula muncul relawan yang berorientasi keuntungan—sekadar mencari akses, proyek, atau posisi. Relawan semacam ini menjauh dari nilai keikhlasan, dan akhirnya justru merusak makna kerelawanan itu sendiri.
Tentu, tidak semua relawan politik bersifat negatif. Ada pula yang benar-benar bekerja untuk menghubungkan tokoh dengan rakyat. Namun yang perlu diwaspadai adalah ketika politik menunggangi kerelawanan, dan kerelawanan kehilangan jiwa gotong royongnya.
Mari merenung dan mengambil sikap. Berhenti memuja, berhenti menghujat. Sudahi mendewakan tokoh. Mari bangkit demi rakyat sejahtera
Redaksi|Suarakyat.com