banner 728x250

Politik Lokal: Ketika “Berkat” Menentukan Arah Dukungan

banner 120x600
banner 468x60

Politik Lokal: Ketika “Berkat” Menentukan Arah Dukungan

Keluarga besar GAKI Gerakan Anti Korupsi Independen

 

Oleh : Muhamad Sarman|Suarakyat.com

banner 325x300

Di tengah dinamika politik lokal pasca pilkada mulai berembus desas-desus kekecewaan. Isunya sederhana, namun sangat membekas: ada kelompok yang merasa sudah mendukung dengan sepenuh hati, tetapi setelah kemenangan diraih, mereka merasa tidak kebagian “berkat”.

Fenomena ini bukan hal baru. Dalam percaturan politik lokal, dukungan sering kali tidak dipandang sebagai wujud kesadaran politik, melainkan dianggap sebagai investasi. Banyak orang berharap dukungan mereka akan berbuah imbalan: Jabatan, proyek, bantuan, atau setidaknya pengakuan. Ketika hal itu tidak datang, lahirlah rasa kecewa.

Budaya Politik “Berkat”

Seperti halnya di banyak daerah, termasuk wilayah soloraya istilah “berkat” punya makna simbolis. Ia bukan sekadar bingkisan makanan dari hajatan, melainkan lambang rezeki yang dibagi rata. Dalam politik, “berkat” menjadi representasi dari pembagian keuntungan setelah kemenangan. Jika ada kelompok yang merasa tak kebagian, muncul desas-desus yang cepat menyebar dari warung kopi hingga jagongan di pos ronda.

Budaya ini memperlihatkan rapuhnya fondasi politik lokal kita. Demokrasi seharusnya menjadi ajang mencari pemimpin terbaik, bukan arena transaksi yang diukur dengan untung-rugi pribadi. Namun kenyataan di lapangan sering berbeda. Politik transaksional masih kuat mencengkeram, sehingga setiap pilihan dianggap layak diberi “upah”.

Janji yang Menjadi Bara

Kekecewaan biasanya berakar dari janji yang terlalu manis saat kampanye. Tim pemenangan kerap menebar harapan: ada proyek yang akan mengalir, ada bantuan yang akan datang, atau jabatan yang bisa diakses. Tetapi ketika realitas tidak sesuai dengan janji, api kekecewaan menyala. Bukan hanya kecewa, tetapi bisa menjelma menjadi dendam politik.

Inilah bahaya laten politik lokal: mereka yang merasa dikhianati cenderung menjadi lawan yang paling keras pada kontestasi berikutnya. Politik balas dendam bisa menjadi siklus yang tidak pernah putus, dari periode ke periode. Bahkan orang yang dulunya du segani di elu elukan, ketika sudah renggang dengan penguasa mulai di utik-utik dicari-cari kesalahannya.

Demokrasi yang Tersandera

Jika politik lokal hanya dilihat sebagai perebutan “berkat”, maka rakyat kecil selalu menjadi pihak yang dirugikan. Energi habis untuk berebut jatah, sementara pembangunan substantif terabaikan. Demokrasi tersandera oleh mentalitas transaksional, bukan berlandaskan visi besar untuk kesejahteraan masyarakat.

Jalan Keluar: Guyub Rukun

Kita sebagai warga masyarakat akar rumput, dengan tradisi sosialnya yang kuat, seharusnya bisa keluar dari jebakan politik sempit ini. Budaya guyub rukun mestinya dijadikan pegangan, bahwa berbeda pilihan adalah wajar, dan kemenangan politik bukan berarti kemenangan segelintir orang saja.

Para elite politik lokal harus memberi contoh. Menang tidak berarti harus membalas dendam, dan kalah bukan akhir dari segalanya. Jika budaya berbagi hanya dipahami sebatas materi, maka politik akan selalu melahirkan luka. Namun jika berbagi diwujudkan dalam bentuk pembangunan yang adil, akses yang setara, dan perhatian kepada rakyat kecil, maka politik lokal bisa menjadi wahana kebersamaan.

Penulis berkesimpulan, bahwa desas-desus kekecewaan karena tak kebagian “berkat” dalam mendukung hanyalah cermin dari realitas politik lokal yang masih berputar pada transaksi. Tantangan kita sebagairakyat akar rumput yang selalu di jemput saat musim politik tiba, adalah bagaimana mengubah pola pikir ini, agar politik bukan sekadar bagi-bagi rezeki, melainkan jalan menuju kesejahteraan bersama. Salam Nalar Akal Waras. Merdeka.

banner 325x300

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *