Tajuk Rencana: Sengkuni dalam Politik Modern

Tajuk Rencana: Sengkuni dalam Politik Modern

Dalam dunia pewayangan, nama Sengkuni selalu melekat dengan kelicikan, tipu daya, dan kemampuan menghasut. Ia bukan pendekar yang turun langsung ke gelanggang perang, melainkan dalang busuk dari balik layar yang membuat negeri hancur karena adu domba.

Kini, jika kita jujur menatap panggung politik Indonesia, sosok Sengkuni masih hidup. Bedanya, ia berganti wajah menjadi politisi licik yang lihai memainkan kata, memutar balik fakta, dan menjual isu demi kepentingan pribadi maupun kelompok.

Ciri-cirinya tidak jauh berbeda dengan Sengkuni dalam lakon pewayangan:

Pandai berpidato, tetapi miskin kerja nyata.

Suka memecah belah, agar rakyat sibuk bertengkar sementara ia panen keuntungan.

Lihai menyamarkan kepalsuan menjadi kebenaran, dan kebenaran tampak seperti kebohongan.

Bermain di balik layar, mendorong konflik, lalu berpura-pura netral.

Inilah wajah politik Sengkuni modern: tidak pernah maju perang, tapi selalu membuat orang lain berperang demi dirinya.

Lebih berbahaya lagi, politik ala Sengkuni kini sudah merasuk ke semua sudut kehidupan sosial masyarakat. Kita bisa melihat betapa tajamnya perpecahan antarwarga, antartetangga, bahkan dalam lingkaran keluarga sendiri, hanya karena beda pilihan politik. Dari satu pemilu ke pemilu berikutnya, luka sosial itu tidak kunjung sembuh. Sengkuni memang pandai meninggalkan jejak: masyarakat terbelah, kesosialan retak, dan persaudaraan tercerai-berai.

Dan kini, hadir pula wajah baru: Sengkuni modern yang menyamar dengan gaya dermawan, berbagi ala sedekah. Padahal di balik tangan yang memberi, tersimpan niat untuk membeli simpati, menukar suara, dan menutup akal sehat rakyat. Ironisnya, masyarakat sering kali tidak menyadari bahwa “kebaikan” semacam itu justru adalah jerat politik. Sedekah palsu ini hanya menjadi umpan manis sebelum perang, sementara kepentingan rakyat kecil tetap tidak terurus setelah pesta demokrasi usai.

Bagi rakyat kecil, kehadiran Sengkuni politik adalah ancaman nyata. Demokrasi yang seharusnya menjadi ruang adil dan sehat justru berubah menjadi panggung sandiwara, penuh retorika kosong, dan menipu publik dengan janji manis. Dalam situasi ini, rakyat hanyalah pion, sementara kepentingan elit dijadikan tujuan utama.

Pelajaran dari tokoh Sengkuni dalam pewayangan jelas: jangan mudah terhasut. Rakyat harus cerdas membaca situasi, tidak mudah dibenturkan, dan tetap menjaga persatuan. Karena jika rakyat terpecah, yang tertawa adalah para Sengkuni.

Di tengah derasnya arus politik penuh kepalsuan, sudah saatnya kita berani menyebut dengan jernih: siapa pun yang menjadikan kebohongan, fitnah, adu domba, bahkan sedekah palsu sebagai senjata politik, dialah Sengkuni zaman modern.

Disclaimer:
Tulisan ini adalah tajuk rencana Suarakyat.com yang bersifat opini redaksi. Segala analisis dan pandangan yang disampaikan tidak selalu mencerminkan sikap resmi seluruh tim Suarakyat.com.

Exit mobile version