Opini Publik: Ingin menjadi relawan sejati itu sederhana: hadir, menolong, tanpa pamrih dan tidak menuntut imbalan.
Oleh: Muhamad Sarman|Redaktur Suarakyat.com
Di tengah kehidupan rakyat yang makin susah — harga kebutuhan pokok naik, pekerjaan makin langka, dan beban hidup makin berat — justru banyak orang yang sibuk mencari panggung.
Ada yang nebeng istilah “relawan,” seolah berjuang untuk rakyat, padahal ujung-ujungnya hanya mengejar sorotan kamera dan kedekatan dengan kekuasaan.
Fenomena ini makin sering terlihat di media sosial dan layar kaca.
Lucunya, banyak di antara mereka yang sering bicara soal etika, bahkan setiap saat membawa-bawa kata itu seolah paling paham moral.
Tapi perilakunya jauh dari etika yang mereka serukan.
Mereka yang katanya menjunjung nilai sopan santun, justru tiap hari berdebat dan bertengkar di ruang publik, saling serang, saling merasa paling benar — padahal rakyat kecil sudah muak melihat sandiwara seperti itu.
Ironinya, di tengah perdebatan tak berkesudahan soal ijazah palsu yang kini menguasai ruang publik, rakyat justru makin jenuh.
Masalah besar negeri ini bukan sekadar soal ijazah, tapi soal kejujuran dan tanggung jawab moral.
Semoga saja mereka yang pro dan kontra segera berhenti saling serang, karena rakyat sudah lelah menyaksikan drama yang tak ada ujungnya.
Rakyat tidak butuh perdebatan yang penuh emosi dan kepura-puraan.
Yang dibutuhkan adalah aksi nyata dan keteladanan.
Relawan sejati tidak menunggu kamera menyala, tidak mencari tepuk tangan — mereka bekerja dalam diam, menolong sesama dengan hati yang tulus.
Kini, makna “relawan” mulai kabur karena dicemari ambisi pribadi dan haus perhatian.
Padahal menjadi relawan sejati itu sederhana: hadir, menolong, dan tidak menuntut imbalan.
Rakyat hanya ingin melihat kejujuran, bukan pencitraan.
Empati, bukan debat kusir.
Kerja nyata, bukan drama layar kaca.
Maka kalau benar ingin disebut relawan, jadilah tangan yang menolong, bukan bibir yang berdebat.


















