Gus” Bukan Sekadar Rajin Ngaji – Memahami Makna Sosial Panggilan Kehormatan
Dalam Ngaji Bareng (Nga-Bar) Bersama Kang Botol Si-Botak Tolol, Tema Kali ini menampilkan tentang Sebutan “GUS” dalam budaya Islam terutama Kalangan Nahdatul Ulama( NU). Berdasarkan sumber yang di dapat Kang Botol, Bahwa, di berbagai daerah, terutama di Jawa, kita sering mendengar panggilan “Gus” disematkan kepada seseorang yang dikenal dekat dengan agama. Namun, apakah setiap orang yang rajin ngaji atau belajar agama terus mendapatkan panggilan “Gus”?Ternyata jawabannya tidak sesederhana itu. Nah terus Apa Itu panggilan “Gus”?
Secara etimologis, “Gus” berasal dari bahasa Jawa, singkatan dari kata bagus yang artinya baik atau tampan. Namun dalam tradisi pesantren—khususnya di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU)—“Gus” adalah panggilan kehormatan. Panggilan ini secara khusus diberikan kepada putra seorang kiai, terutama kiai besar atau pengasuh pesantren.
Dengan kata lain, “Gus” bukan cuma karena rajin ngaji, tapi juga karena lahir dalam lingkungan keilmuan dan kepemimpinan agama.
Siapa yang Layak Dipanggil “Gus” diantaranya:
Putra kiai besar (pengasuh pesantren atau tokoh agama terkemuka).
Memiliki garis keturunan ulama yang dihormati masyarakat.
Umumnya juga menimba ilmu di pesantren, dan menunjukkan sikap serta akhlak yang mencerminkan kealiman dan keteladanan.
Panggilan ini mengandung penghormatan, bukan sekadar pengakuan keilmuan. Maka jika sembarang orang dipanggil “Gus” hanya karena pandai bicara agama di media sosial atau aktif di pengajian, itu bisa dianggap keliru secara budaya.
Mengapa Ini Perlu Diluruskan? Karena di masyarakat pesantren, struktur kehormatan punya nilai penting. Panggilan “Gus” tidak hanya mewakili individu, tapi juga tradisi, silsilah, dan nilai-nilai ulama yang dijaga turun-temurun. Memberikan panggilan ini secara asal bisa memicu salah paham, bahkan dianggap tidak sopan
Mari kita hargai tradisi dengan menempatkan panggilan dan gelar pada tempatnya. Rajin belajar agama tentu mulia, tapi sebutan “Gus” adalah warisan budaya yang harus dipahami dengan benar.|MSar|Suarakyat.com
Disclaimer:
Tulisan ini adalah opini penulis berdasarkan tradisi Islam kultural di Indonesia, khususnya dalam lingkungan pesantren dan Nahdlatul Ulama. Tidak dimaksudkan untuk merendahkan siapa pun yang sedang menekuni ilmu agama.