banner 728x250

PTSL: Ketika Program Baik Tergelincir oleh Ulah Nakal

banner 120x600
banner 468x60

PTSL: Ketika Program Baik Tergelincir oleh Ulah Nakal

Boyolali, Suarakyat.com (23/4/2025) – Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap atau yang lebih dikenal dengan singkatan PTSL, adalah program yang sebenarnya sangat bermanfaat bagi masyarakat. Bayangkan, tanah yang selama ini hanya dipegang dengan bukti-bukti ala kadarnya – surat jual beli di atas kertas sobekan, kwitansi warisan, atau hanya “kata orang tua dulu” – akhirnya bisa memiliki sertifikat resmi dari negara. Ini bukan cuma soal kertas, tapi soal kepastian hukum dan rasa aman atas hak milik yang sah.

banner 325x300

Tujuan PTSL sangat jelas: supaya semua bidang tanah di suatu desa atau kelurahan bisa didata dan disertifikatkan secara serentak. BPN (Badan Pertanahan Nasional) sebagai pelaksana teknis bergerak menyisir desa-desa, kampung, bahkan wilayah pelosok yang selama ini belum pernah tersentuh program sertifikasi. Dengan sertifikat itu, warga jadi punya pegangan hukum kuat – mau dijadikan agunan usaha, warisan, atau sekadar jaminan hati karena tak lagi khawatir diklaim orang lain.

Tapi sayangnya, sebaik apapun niat sebuah program, tetap bisa tercoreng kalau praktik di lapangan tak sejalan dengan aturan. PTSL ini contohnya. Sesuai edaran resmi dari tiga kementerian (ATR/BPN, Dalam Negeri, dan Desa PDTT), program ini seharusnya gratis. Ya, gratis. Negara menanggung biaya pengukuran dan pengurusan dasar. Tapi apa yang terjadi?

Di lapangan, warga sering kali justru ditarik biaya yang jumlahnya bisa tembus jutaan rupiah. Ada alasan “biaya operasional”, “biaya transport petugas”, hingga “biaya administrasi desa”. Padahal dalam edaran resmi, ada pembatasan biaya maksimal yang diperbolehkan (dan itu pun hanya untuk komponen tertentu, bukan pungutan liar yang semena-mena). Tak sedikit warga yang merasa terpaksa membayar karena takut tak dilayani atau sertifikatnya “tertahan”.

Lebih miris lagi, banyak oknum aparat desa, bahkan pegawai pertanahan, yang tersandung kasus korupsi dari program ini. Uang dari rakyat kecil yang seharusnya untuk makan, sekolah anak, atau modal usaha, malah jadi bancakan. Ini jelas menyakitkan, apalagi ketika program yang mestinya membantu justru menambah beban hidup.

Masyarakat tentu berhak bertanya: di mana pengawasan pemerintah? Mengapa oknum-oknum ini bisa leluasa bermain di balik program negara? Bukankah ini justru bertentangan dengan semangat reformasi agraria yang ingin memberi keadilan bagi rakyat kecil?

PTSL bukan program jelek. Bahkan sangat mulia tujuannya. Tapi tanpa pengawasan dan ketegasan dari pemerintah, ia akan terus jadi ladang permainan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Pemerintah pusat perlu serius mengawasi implementasi di daerah. Jangan hanya membuat aturan, tapi tak punya taring saat aturan itu dilanggar.

Dan kita, sebagai masyarakat, juga perlu tahu hak kita. Jangan mudah percaya pada pungutan yang tidak jelas. Laporkan jika merasa dirugikan. Program ini ada untuk rakyat, bukan untuk memperkaya segelintir orang.

Semoga ke depan, PTSL bisa benar-benar jadi alat pemerataan dan kesejahteraan. Bukan lagi cerita tentang sertifikat yang mahal, tapi tentang keadilan yang nyata. (Kontributor: Jiyono, Penulis: MSar)

banner 325x300

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *