Ketika Hanya Orang Hebat yang Diberitakan, Lalu Siapa yang Mendengar Jeritan Rakyat?

Ketika Hanya Orang Hebat yang Diberitakan, Lalu Siapa yang Mendengar Jeritan Rakyat?

Oleh: Muhamad Sarman|Suarakyat.com

Setiap hari, masyarakat Indonesia dijejali berita tentang tokoh-tokoh besar. Dari media sosial hingga televisi nasional, wajah-wajah elite politik dan tokoh publik terus menghiasi layar dan linimasa. Debat mereka disorot, manuver mereka dibahas, dan ucapan mereka jadi kutipan viral. Seolah negeri ini hanya milik mereka—orang-orang hebat.

Publik disuguhi sajian perdebatan canggih, adu argumen di forum mewah, serta pamer gagasan yang kadang jauh dari realitas. Tapi di tengah gegap gempita itu, suara rakyat kecil nyaris tak terdengar. Kalau pun muncul, lebih sering sekadar menjadi pelengkap. Sebaris kalimat di akhir berita, atau cuplikan dramatis untuk menggugah emosi sesaat. Setelah itu, lenyap.

Padahal, di pelosok-pelosok negeri, jutaan rakyat sedang bertahan hidup. Petani menjerit karena pupuk mahal, nelayan kesulitan solar, buruh pabrik terus bekerja meski upah tak cukup untuk menyambung bulan. Pedagang kecil berdesakan dengan pungutan liar, sopir angkot mengeluh karena sepinya penumpang akibat transportasi online. Siapa yang mewakili mereka di layar kaca? Siapa yang memperjuangkan suara mereka dalam diskusi publik?

Media, dalam idealnya, adalah corong suara rakyat. Tapi kini terlalu banyak media yang lebih memilih memburu sensasi ketimbang menggali kenyataan. Pemberitaan menjadi berat sebelah—penuh sorotan pada yang berkuasa, dan gelap gulita bagi mereka yang hanya sekadar ingin hidup layak.

Kita butuh keberimbangan. Bukan berarti menolak berita tentang elite, tapi memberikan ruang yang adil bagi mereka yang tak punya panggung. Karena dalam demokrasi sejati, suara rakyat bukan sekadar slogan. Ia adalah inti.

Maka, mari bertanya: jika media tak lagi berpihak pada jeritan rakyat kecil, siapa lagi yang akan mendengarkan mereka?

 

Exit mobile version