Warisan Kata-Kata Kasar: Ancaman Bagi Masa Depan Bangsa
Suarakyat.com – Dalam beberapa tahun terakhir, ruang publik kita – terutama di media sosial – makin dipenuhi oleh ujaran kasar, sindiran tajam, dan pelabelan merendahkan seperti kadrun, kardus, cebong, dan lainnya. Kata-kata ini bukan sekadar istilah lucu-lucuan. Ia telah menjadi senjata untuk menyerang, merendahkan, dan mempermalukan orang lain hanya karena perbedaan pendapat atau pilihan politik.
Cobalah kita buka media sosial hari ini. Mudah sekali menemukan orang-orang yang menyerang lawan bicaranya dengan kata-kata kotor. Bukan hanya tidak sopan, tapi sering kali penuh arogansi. Ada yang merasa paling benar, paling pintar, paling nasionalis, paling religius, atau paling tahu segalanya. Gaya berkomunikasi seperti ini menciptakan atmosfer yang memuakkan, bukan mencerdaskan.
Alih-alih menjadi ruang diskusi sehat, media sosial kini menjadi arena adu ego. Orang-orang beradu argumen bukan untuk mencari kebenaran, tapi untuk saling menjatuhkan. Yang lebih disayangkan lagi, gaya seperti ini mulai ditiru oleh generasi muda. Mereka tumbuh dalam lingkungan digital yang mengajarkan bahwa menyindir dan menghina itu sah-sah saja, asal terlihat “kritis” atau “berani”.
Padahal, bangsa yang maju dibangun dari generasi yang menghargai perbedaan, santun dalam bicara, dan rendah hati dalam menyampaikan gagasan. Bukan generasi yang sok hebat dan merasa paling tahu segalanya. Kalau gaya kasar dan penuh kebencian ini terus diwariskan, jangan harap Indonesia akan melangkah maju. Kita justru sedang menciptakan masyarakat yang mudah tersulut, susah diajak kerja sama, dan miskin empati.
Data terbaru memperkuat kekhawatiran ini. Menurut hasil pemantauan yang dilakukan oleh Monash University dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia selama periode 1 September 2023 hingga 31 Januari 2024, ditemukan bahwa 26,9 persen dari 678.106 teks yang dianalisis mengandung ujaran kebencian. Platform media sosial seperti Twitter (sekarang X) menjadi tempat paling banyak ditemukannya ujaran kebencian, dengan 51,2 persen dari total tersebut.
Jenis ujaran kebencian yang paling dominan adalah serangan terhadap identitas (123.968 teks), diikuti oleh hinaan (104.664 teks), kata-kata kotor (42.267 teks), ancaman/hasutan (39.153 teks), dan konten seksual/vulgar (3.528 teks). Kelompok yang paling sering menjadi sasaran adalah Yahudi (90.911 teks), penyandang disabilitas (46.278 teks), Tionghoa (9.563 teks), LGBTQ (7.262 teks), serta Kristen dan Katolik (4.755 teks).
Budayawan Emha Ainun Nadjib, yang akrab disapa Cak Nun, telah lama mengingatkan tentang pentingnya komunikasi yang beretika dan beradab. Dalam berbagai kesempatan, beliau menekankan bahwa komunikasi seharusnya mencerminkan nilai-nilai profetik, yaitu menyampaikan kebenaran dengan cara yang santun dan penuh empati. Menurut Cak Nun, komunikasi yang baik adalah yang mampu menyatukan, bukan memecah belah; yang membangun, bukan meruntuhkan.
Sudah saatnya kita hentikan warisan busuk ini. Kita mulai dari diri sendiri: berhenti memakai istilah merendahkan, belajar berdiskusi dengan tenang, dan menahan diri dari merendahkan orang lain hanya karena perbedaan pilihan. Mari kita wariskan generasi yang cerdas secara intelektual dan bijak secara emosional — bukan generasi yang hanya pintar mencaci, tapi gagal memperbaiki negeri.
Disclaimer:
Tulisan ini adalah opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan resmi media Suarakyat.com maupun pihak manapun. Setiap nama, istilah, atau kelompok yang disebut dalam artikel ini digunakan semata-mata untuk menggambarkan fenomena sosial yang berkembang di ruang publik dan tidak bertujuan untuk menyerang atau merendahkan pihak tertentu. Penulis menghormati perbedaan pendapat dalam masyarakat dan mendorong diskusi yang sehat, santun, dan membangun demi kemajuan bangsa.