Ketika Surat Tak Lagi Bermakna: Kisah Ibu Tua yang Terpinggirkan oleh Sertifikat
Di sebuah sudut pasar tradisional Pengging, Boyolali, seorang perempuan tua tampak memikul beban berat di punggungnya. Bukan hanya karung berisi dagangan yang digendong, tapi juga beban hidup dan ketidakadilan yang menindih pundaknya setiap hari.
Ibu itu—usia renta, suaminya tunanetra, dan tak punya anak sebagai tumpuan—bertahan hidup dengan menjadi kuli gendong, berjalan dari satu los ke los lain demi sekeping uang. Namun di balik tubuh lemah dan peluh yang mengalir, ada kisah getir tentang tanah warisan yang perlahan raib dari genggaman.
Awalnya Sepakat, Kemudian Diabaikan
Tahun 2008, dua pihak sepakat membagi sebidang tanah secara adil. Disaksikan Kepala Desa dan tokoh masyarakat, dibuatlah surat pernyataan bersama bahwa tanah itu dibagi dua, dengan batas jelas berupa pondasi permanen. Tak ada niat buruk, hanya harapan agar hidup berjalan damai di atas tanah warisan orang tua.
Namun dua belas tahun berselang, saat Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) datang, kenyataan pahit menimpa si ibu tua. Satu pihak mendaftarkan tanah atas namanya sendiri. Petugas desa dan BPN tak memeriksa dokumen lama, tak memanggil semua yang berkepentingan, dan akhirnya sertifikat resmi terbit hanya untuk satu pihak.
Surat Baru, Tapi Hati yang Luka
Ibu tua itu protes. Bukan karena tamak, tapi karena ingin keadilan ditegakkan sesuai kesepakatan dulu. Pemerintah desa berusaha menengahi. Dikeluarkanlah surat baru: pihak pemegang sertifikat memberi hibah atas sebagian tanah kepada ibu tua itu. Namun waktu terus berjalan, dan janji tinggal janji. Surat hibah tak pernah direalisasi. Tak ada akta notaris, tak ada balik nama, tak ada secuil tanah yang bisa ia genggam secara sah.
Sementara hidup terus menindih. Untuk makan sehari-hari saja, ia harus tetap memanggul barang di pasar. Dan ironisnya, ia memikul beban di tanah sendiri yang perlahan dihilangkan dari catatan hukum.
Ketika Negara Tak Hadir di Sisi yang Lemah
Program PTSL adalah inisiatif baik. Tapi jika pelaksanaannya serampangan, jika petugas tidak teliti, jika pihak yang lemah diabaikan, maka hasilnya bukan keadilan, melainkan penggusuran diam-diam oleh sistem.
Ibu tua ini tak mampu menggugat ke PTUN, tak tahu ke mana harus mengadu. Ia tak punya biaya ke notaris, apalagi ke pengacara. Tapi ia punya satu harapan: tulisan ini. Harapan bahwa masyarakat akan membaca dan pemerintah akan sadar, bahwa ada seorang rakyat kecil yang terinjak bukan oleh preman, tapi oleh kelalaian birokrasi.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Pemerintah desa dan ATR/BPN harus hadir kembali, meninjau ulang kasus ini, dan melibatkan semua pihak.
Petugas PTSL harus bertanggung jawab, karena administrasi yang cacat telah menciptakan ketidakadilan nyata.
Masyarakat, media, dan organisasi sosial harus bersuara. Karena kadang, satu tulisan lebih kuat dari seribu sertifikat.
Penutup: Tanah Itu Warisan, Tapi Keadilan Itu Warisan yang Lebih Abadi
Ibu tua ini hanya ingin haknya kembali. Bukan untuk dijual, bukan untuk pamer, tapi untuk mati dengan tenang, tahu bahwa ia tidak dikhianati oleh negaranya sendiri.
Di negeri yang konon menjunjung keadilan sosial, jangan biarkan mereka yang lemah dikebiri haknya oleh sistem yang seharusnya melindungi. Mari kita suarakan, sebelum tanah itu sepenuhnya hilang… dan si ibu tua itu pergi bersama kesedihannya.[Redaksi Suarakyat.com]
DISCLAIMER:
Tulisan dan gambar ini disusun untuk tujuan edukasi dan kemanusiaan. Kisah yang diangkat berdasarkan kejadian nyata yang dialami oleh seorang warga di Boyolali, dengan beberapa elemen visual direka ulang untuk menjaga privasi pihak terkait.
Segala bentuk opini dalam tulisan ini adalah suara nurani dan bukan merupakan tuduhan terhadap institusi atau individu tertentu. Apabila ada pihak yang merasa perlu memberikan klarifikasi atau tanggapan, media ini terbuka untuk dialog dan penyampaian hak jawab sesuai etika jurnalistik.