banner 728x250

PTSL: Ketika Ibu Tukinah Kehilangan Hak di Meja Administrasi”

banner 120x600
banner 468x60

“PTSL: Ketika Ibu Tukinah Kehilangan Hak di Meja Administrasi”

Gambar: Mbah Tukinah, Kuli Gendong Pasar Pengging, Tak pernah lelah mencari keadilan

Di tengah narasi besar pemerintah soal reformasi agraria dan keadilan kepemilikan tanah, masih terjadi praktik di lapangan yang menyayat nurani. Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang semestinya memberi perlindungan hukum bagi seluruh warga, justru kadang berubah menjadi ladang ketidakadilan bagi mereka yang paling lemah: tua, buta huruf, dan tak paham birokrasi.

Kisah ini datang dari sebuah desa di Kecamatan Boyolali, Kabupaten Boyolali, di mana seorang warga bernama Tukinah (65), harus menelan pahit kenyataan: tanah yang selama ini ia kuasai dan diakui masyarakat sebagai haknya, tiba-tiba bersertifikat atas nama keponakan-keponakannya.

banner 325x300

Surat Sah Dikesampingkan

Pada tahun 2008, Tukinah bersama para keponakannya sepakat membagi tanah warisan orang tua mereka menjadi dua bagian. Kesepakatan itu dituangkan dalam surat pernyataan resmi, dibacakan di hadapan tokoh masyarakat dan disahkan oleh Kepala Desa setempat, lengkap dengan cap dan tanda tangan. Batas fisik berupa pondasi permanen juga dibangun untuk menegaskan pembagian itu.

Namun saat PTSL digelar pada 2020, Tukinah tidak pernah dilibatkan dalam proses pendaftaran. Para keponakan justru mendaftarkan seluruh bidang tanah atas nama mereka sendiri. Petugas PTSL maupun perangkat desa tidak memverifikasi secara menyeluruh, dan mengabaikan keberadaan surat tahun 2008 yang sah secara sosial dan administratif.

Hasilnya? Sertifikat tanah diterbitkan hanya atas nama para keponakan. Ibu Tukinah, yang selama ini tinggal dan mengelola tanah itu, kehilangan haknya tanpa pernah diberi ruang bicara.

Janji Hibah yang Tak Kunjung Terealisasi

Merasa dirugikan, Ibu Tukinah mengadu ke kantor desa. Dilakukan mediasi yang dihadiri tokoh masyarakat. Dalam forum itu, para keponakan menyatakan secara tertulis bahwa mereka akan menghibahkan sebagian tanah kepada Ibu Tukinah, yaitu seluas 159 meter persegi, diambil sebagian dari tanah milik dua keponakan.

Surat pernyataan hibah ini dibacakan di hadapan Ibu Tukinah, disaksikan oleh para tokoh masyarakat, dan disahkan dengan cap serta tanda tangan kepala desa. Tapi hingga kini, janji itu tak pernah direalisasikan. Tidak ada pengukuran ulang, tidak ada akta hibah, dan tidak ada pergerakan dari pihak yang menjanjikan.

Klarifikasi Sudah Ditempuh, Tapi Mediasi Buntu

Redaksi Suarakyat.com telah melakukan klarifikasi langsung ke Kantor Desa dan Kantor BPN Kabupaten Boyolali. Bahkan, upaya mediasi formal telah dilakukan di kantor BPN. Namun, dalam mediasi tersebut, pihak keponakan tidak hadir. Yang hadir hanya perwakilan pemerintah desa. Situasi ini semakin memperjelas posisi Ibu Tukinah sebagai korban dari sistem yang abai dan masyarakat yang tak bertanggung jawab.

Negara Tak Boleh Tumpul ke Atas dan Tajam ke Bawah

Kasus ini menggambarkan betapa rawannya warga miskin, lanjut usia, dan tidak paham hukum menjadi korban program pemerintah yang semestinya melindungi mereka. Petugas PTSL tidak boleh hanya memproses dokumen dari pihak yang “paling siap”, tanpa memverifikasi keadilan dan fakta sosial yang nyata di lapangan.

Kami menyerukan agar:
BPN Kabupaten Boyolali segera menindaklanjuti hasil mediasi dan memfasilitasi penyelesaian hak Tukinah.
Pemerintah desa mendampingi secara aktif, bukan sekadar jadi penonton administratif.
Petugas PTSL ke depan wajib menyertakan verifikasi lapangan menyeluruh, terutama di tanah warisan bersama.

Penutup: Tukinah dan Wajah Pelayanan Publik Kita

Ibu Tukinah hanyalah satu nama dari ribuan rakyat kecil yang tidak bisa bersuara di hadapan sistem yang terlalu percaya dokumen, tapi abai terhadap keadilan.

Jika tanah yang dikuasai puluhan tahun bisa hilang begitu saja karena kelalaian administratif, lalu untuk siapa sebenarnya program PTSL ini dibuat?

Suarakyat.com berdiri untuk menyuarakan yang tak terdengar. Suara dari desa, suara dari pinggiran. Suara dari rakyat kecil yang masih percaya bahwa keadilan itu ada—asal pejabatnya tidak tutup mata.[Reporter|Jiyono|Editor|MSar|Redaksi Suarakyat.com]

 

DISCLAIMER
Artikel ini disusun berdasarkan informasi yang disampaikan oleh narasumber yang merasa dirugikan dalam proses administrasi pertanahan. Suarakyat.com berupaya menyampaikan isu ini dengan semangat keadilan, perlindungan hak masyarakat kecil, dan keterbukaan informasi publik.
Kami tidak bermaksud menyudutkan individu, instansi pemerintah, maupun pihak manapun, melainkan mendorong adanya perbaikan sistem, peningkatan akurasi pelayanan publik, dan perlindungan terhadap warga yang lemah secara sosial, ekonomi, dan hukum.
Apabila terdapat pihak-pihak yang merasa dirugikan atau memiliki klarifikasi atas isi artikel ini, kami membuka ruang hak jawab sesuai dengan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Silakan hubungi redaksi Suarakyat.com melalui email: redaksi@suarakyat.com.

 

banner 325x300

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *