Ijazah Jokowi dan Drama Legitimasi Kekuasaan: Ketika Kebenaran Jadi Tontonan Politik
Oleh: Muhamad Sarman
Suarakyat.com
Isu tentang ijazah mantan Presiden Joko Widodo yang disebut-sebut palsu terus mencuat di media sosial. Sudah bertahun-tahun polemik ini berputar, tetapi anehnya tak pernah benar-benar selesai. Yang pro dan yang kontra sama-sama diisi oleh orang-orang hebat, pintar, tokoh hukum, bahkan akademisi. Namun, setelah debat panjang di televisi dan ribut di dunia maya, rakyat kecil tetap saja heran: “kok orang-orang hebat nggak bisa menyelesaikan hal sesederhana ini?”
Padahal, urusan ijazah itu kan gampang—tinggal tunjukkan, periksa, dan selesai. Tapi ketika yang diperiksa adalah orang besar mantan presiden, tiba-tiba semuanya jadi rumit dan sulit. Ada alasan hukum, alasan etika, dan alasan politik yang saling tumpang tindih. Akhirnya, yang muncul bukan kejelasan, tapi tontonan politik yang menghibur rakyat, sekaligus juga membingungkan rakyat.
Pertarungan di Atas Legitimasi
Kenapa isu ini tak habis-habis? Karena yang dipersoalkan bukan hanya selembar kertas, tapi legitimasi kekuasaan.
Kalau benar palsu, maka seluruh fondasi keabsahan pemerintahan ikut terguncang. Tapi kalau tidak palsu, kenapa bukti dan klarifikasinya selalu setengah hati? Inilah yang membuat banyak orang curiga, dan sebagian lagi menuduh hanya fitnah politik.
Baca juga :
Opini Publik: Apakah Proyek Simpang Siaga Rp 22 Miliar Layak dan Berpihak ke Rakyat?
Rakyat di bawah hanya bisa menonton. Ada yang percaya Jokowi benar, ada pula yang yakin ada yang ditutupi. Tapi yang jelas, kebenaran seolah tak lagi dicari, melainkan dipertontonkan. Masing-masing kubu memegang “kebenarannya sendiri”, lengkap dengan pasukan buzzer dan juru bicara yang siap menyerang siapa pun yang berpikir beda.
Lembaga yang Tak Tuntas, Publik yang Gelisah
Masalah ini seharusnya bisa selesai kalau lembaga-lembaga resmi seperti KPU, Kemendikbud, UI, dan Mahkamah memberikan penjelasan terbuka, transparan, dan logis.
Tapi nyatanya, yang muncul justru pernyataan normatif, tanpa membuka data detail ke publik. Akibatnya, rasa percaya rakyat makin terkikis.
Dalam dunia digital, ketidakjelasan adalah bahan bakar paling ampuh untuk teori konspirasi.
Semakin tidak jelas, semakin ramai diperbincangkan.
Ketika Medsos Jadi Arena Politik Rakyat
Dulu, isu politik hanya bisa muncul di media besar. Sekarang, semua orang bisa jadi “Komentator” atau “pengamat” di medsos.
Satu video pendek atau potongan pernyataan bisa langsung viral.
Bahkan kadang, bukan karena pentingnya isu, tapi karena lucunya perdebatan.
Isu ijazah Jokowi akhirnya berubah jadi drama politik: ada tokoh, misteri, ada tokoh yang emosi, dan hal tersebut memang sengaja di buat hiburan politik.
Sayangnya, yang dicari bukan lagi kebenaran, tapi sensasi.
Di satu sisi, rakyat jenuh dengan politik yang penuh sandiwara. Tapi di sisi lain, tontonan seperti ini memberi semacam hiburan di tengah hidup yang makin sulit.
Seolah-olah politik bukan lagi urusan negara, tapi serial drama panjang yang penuh plot twist. Kejutan dalam cerita.
Kebenaran yang Tertukar dengan Kepentingan
Dalam negara yang kepercayaannya terhadap lembaga hukum makin menipis, kebenaran sering kali ditentukan oleh siapa yang punya kuasa, bukan oleh fakta.
Ketika keadilan tak lagi dirasakan merata, rakyat kecil pun tak tahu harus percaya siapa.
Yang tersisa hanyalah komentar, sindiran, dan perdebatan tanpa ujung.
Mungkin karena itu, isu ijazah Jokowi tak pernah bisa mati. Ia hidup dari ketidakjelasan, tumbuh dari ketidakpercayaan, dan disiram oleh kepentingan politik dari berbagai arah.
Dan selama kebenaran tak diletakkan di atas kepentingan, isu ini akan terus menjadi tontonan, bukan penyelesaian.
Rakyat Hanya Ingin Jujur dan Tegas
Pada akhirnya, rakyat kecil seperti kita tidak butuh drama panjang.
Kalau memang ijazahnya asli, tunjukkan dengan tegas dan terbuka.
Kalau ada kekeliruan, akui dan selesaikan secara hukum.
Sederhana saja.
Tapi entah kenapa, kesederhanaan itu justru paling sulit dilakukan oleh para pejabat dan lembaga tinggi negara.
Rakyat sudah terlalu lama menjadi penonton.
Kini, yang dibutuhkan bukan lagi sandiwara baru, tapi keberanian untuk bicara jujur dan bertindak adil.
Karena dalam negara yang sehat, kebenaran tidak boleh jadi tontonan—ia harus jadi pijakan. Salam Nalar Akal Waras. Merdeka.
Disclaimer:
Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili sikap resmi redaksi Suarakyat.com. Artikel ini dimaksudkan sebagai bentuk refleksi dan kritik sosial terhadap dinamika politik yang berkembang di masyarakat, bukan untuk menuduh atau menghakimi pihak mana pun.
Segala informasi terkait keaslian dokumen atau data pribadi pejabat publik tetap mengacu pada hasil verifikasi lembaga berwenang.
Suarakyat.com berkomitmen mendukung jurnalisme yang berimbang, beretika, dan menghormati asas praduga tak bersalah.