Tindakan tegas dari guru seharusnya dilihat sebagai “tamparan mendidik”, bukan kekerasan yang perlu dihukum.
Belakangan ini publik dihebohkan dengan peristiwa seorang guru yang menampar murid karena kedapatan sedang merokok di sekolah. Bukannya menjadi bahan introspeksi bersama, justru muncul reaksi yang menurut kami terlalu berlebihan dari sebagian orang tua murid yang melakukan pembelaan membabi buta. Akibatnya, membuat suasana pendidikan terganggu hingga murid lain ikut-ikutan mogok sekolah secara massal.
Sebagai masyarakat, kami sangat kecewa dan prihatin. Dunia pendidikan mestinya menjadi ruang untuk menanamkan nilai-nilai moral dan kedisiplinan, bukan tempat di mana guru selalu disalahkan ketika mencoba menegakkan aturan.
Kalau ada teguran secara fisik tentu sang guru sekolah dah paham, bahwa teguran fisik itu adalah teguran peduli teguran kasih sayang, mestinya sebagai orang tua, malu kedapatan anaknya berbuat sesuatu yang secara aturan tidak boleh di lakukan di saat saat sekolah berlangsung.
Pertanyaannya, siapa yang sebenarnya harus bertanggung jawab ketika karakter anak-anak mulai terbentuk dari pengaruh luar yang buruk — mulai dari media sosial, lingkungan pergaulan bebas, hingga pada gaya hidup yang jauh dari nilai-nilai norma pendidikan?
Guru hanyalah ujung tombak. Ia berhadapan langsung dengan realitas moral generasi yang mulai kehilangan arah. Tapi di belakang guru ada sistem, ada orang tua, dan ada masyarakat yang juga punya tanggung jawab besar.
Kita perlu melihat persoalan ini dengan keseimbangan nurani dan akal sehat. Guru adalah pendidik, bukan pelaku kriminal. Bila tindakan itu dilakukan karena ingin menegakkan disiplin — dan bukan karena kebencian atau kekerasan berlebihan — maka seharusnya pemerintah atau pimpinan daerah tidak buru-buru menghukum, tetapi menelusuri dulu duduk persoalannya secara adil.
Sebagai masyarakat, kita menilai bahwa keputusan menonaktifkan guru tersebut dapat memberi kesan buruk, seolah-olah negara lebih berpihak pada tekanan opini publik ketimbang mendukung perjuangan moral para pendidik di lapangan. Padahal, di saat moral anak bangsa semakin rapuh, justru kita butuh lebih banyak guru yang berani menegur, bukan takut dihukum.
Tindakan tegas dari guru seharusnya dilihat sebagai “tamparan mendidik”, bukan kekerasan yang perlu dihukum. Selama niatnya untuk mendidik dan memperbaiki perilaku, mestinya pemerintah memberi pembinaan, bukan sanksi.
Kita paham, seorang gubernur tentu ingin menjaga citra dan menegakkan aturan, tapi kebijakan yang terlalu cepat tanpa empati pada perjuangan guru justru menurunkan semangat para pendidik.
Sebagai rakyat kecil, kita hanya ingin menyampaikan: “Jangan biarkan guru takut mendidik. Karena kalau guru tak berani lagi menegur murid, maka yang hancur bukan hanya wibawa sekolah — tapi masa depan bangsa ini.”
Kalau setiap tindakan tegas guru dianggap salah, kalau setiap teguran dianggap kekerasan, maka jangan lagi salahkan kalau anak-anak kita makin kehilangan rasa hormat dan disiplin. Ketika guru sudah mulai takut menegur, maka masa depan moral bangsa akan ikut terancam.
Sebagai masyarakat, mari kita coba lihat suasana di media sosial hari-hari ini. Terlalu banyak tayangan orang-orang yang berdebat, saling adu hebat, adu gengsi, seolah gengsi lebih penting daripada akhlak. Kita sering lupa bahwa anak-anak muda menonton itu semua, belajar dari apa yang mereka lihat.
Lalu, ketika di sekolah mereka mulai berani melawan guru, bahkan mogok massal hanya karena solidaritas tanpa arah — apakah seperti ini tujuan pendidikan kita? Apakah begini wajah generasi penerus bangsa yang kita harapkan?
Kami sebagai masyarakat kecil mengajukan rencana dan harapan bersama:
1. Kembalikan kepercayaan kepada guru. Teguran guru bukan kekerasan, tapi bagian dari pendidikan karakter.
2. Bangun kesadaran orang tua agar tidak reaktif membela tanpa memahami duduk persoalan.
3. Dorong pemerintah dan sekolah untuk menegakkan disiplin dengan cara yang mendidik, tanpa takut tekanan publik.
4. Ciptakan ekosistem digital yang sehat, agar anak-anak tidak terus-menerus disuguhi tontonan adu gengsi dan debat kosong di media sosial.
Karena tanpa moral, kecerdasan hanyalah kesombongan yang dibungkus ilmu.
Dan tanpa wibawa guru, bangsa ini perlahan kehilangan arah.
Penulis: M.Sarman | Redaksi Suarakyat.com – Opini Masyarakat
