Kultum: Pelaku Macak Korban

Gambar: Muhamad Sarman|Redaktur Suarakyat.com

 

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan seluruh umatnya yang istiqamah hingga akhir zaman.

Pembaca yang dirahmati Allah,
Hari ini Minggu 18/5/2025 saya Kang Botol Si Botak-Tolol, ingin menyampaikan sebuah pesan singkat yang insya Allah bermanfaat, dengan tema: “Pelaku Macak Korban”.

Ada sebuah kisah sederhana tapi sarat pelajaran.
Ada dua orang teman akrab—sebut saja Si Badu dan Dadu, mereka berdua berteman sejak kecil. Mereka selalu bersama, suka dan duka dilalui berdua. Namun, suatu hari muncul kesalahpahaman. Salah satunya merasa disakiti, merasa tidak dihargai. Tapi yang satunya juga merasa hal yang sama. Keduanya merasa menjadi korban. Keduanya saling menyalahkan.

Lama-lama hubungan itu retak. Tidak ada yang mau mengalah. Tidak ada yang mau mengakui kesalahan. Keduanya sibuk mempertahankan ego, sibuk menunjukkan bahwa “akulah yang tersakiti”. Padahal, jika ditelusuri lebih dalam, keduanya pernah saling menyakiti—disengaja maupun tidak.

Inilah fenomena yang kini sering kita lihat: pelaku yang berperan sebagai korban.
Dalam dunia psikologi disebut playing victim, tapi dalam Islam, ini adalah bentuk dari kezaliman terhadap kebenaran.

Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Hujurat ayat 10:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah antara kedua saudaramu itu dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.”

Ayat ini mengingatkan kita, bahwa ketika ada konflik, tugas kita bukan membenarkan ego, tapi memperbaiki hubungan. Jangan terjebak dalam peran “korban” jika sebenarnya kita juga punya andil sebagai “pelaku.”

Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa yang tidak meninggalkan dusta dan perbuatan jahatnya, maka Allah tidak membutuhkan dia meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. Bukhari)
Ini menunjukkan bahwa kejujuran dan niat memperbaiki diri lebih penting dari sekadar tampilan luar atau posisi.

Pembaca Suarakyat.com dimanapun berada, Ketika kita berselisih, mari kita tanyakan pada diri kita, “Apakah aku betul-betul korban, Apakah aku tak pernah menyakiti?, Apakah mungkin aku juga pelaku, hanya saja tak mau mengaku?”

Nah, Mari kita belajar jujur pada hati kita. Jangan sampai karena ego, kita memutus silaturahim. Jangan sampai karena ingin terlihat benar, kita menebar luka. Dunia ini bukan panggung drama, di mana yang paling pandai bersandiwara akan menang dan mendapatkan simpati.

Pembaca yang di rahmati Allah, Mari kita buktikan iman kita, dengan memperbaiki hubungan, bukan mempertahankan ego. Sungguh, memaafkan itu lebih mulia daripada membuktikan bahwa kita tidak salah.

Pembaca, sebagai Penutup, Semoga Allah menjauhkan kita dari sifat sombong, dari kesenangan berpura-pura menjadi “korban”, dan memberi kita kekuatan untuk mengakui kesalahan dan memperbaiki diri.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. (MSar|Suarakyat.com)

Exit mobile version