banner 728x250

Program Revitalisasi Pendidikan: Di Tengah Harapan, Ada Ancaman Kolusi

banner 120x600
banner 468x60

Program Revitalisasi Pendidikan: Di Tengah Harapan, Ada Ancaman Kolusi

Oleh : : Dr. Al Ghozali Wulakada, SH MH, Dosen UNISRI Surakarta.

Program revitalisasi pendidikan melalui pembangunan ruang kelas baru serta rehabilitasi dan renovasi gedung sekolah seharusnya menjadi angin segar bagi dunia pendidikan. Namun kenyataannya, program yang dibiayai dari APBN melalui Kementerian Pendidikan ini justru mulai menuai sorotan dari berbagai pihak.

banner 325x300

Salah satu sumber masalahnya terletak pada mekanisme pelaksanaan. Proyek ini dijalankan langsung oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang ditunjuk oleh pengguna anggaran dari pemerintah pusat, tanpa melibatkan Dinas Pendidikan di tingkat kabupaten/kota. Di atas kertas, pola ini mungkin terlihat efisien, namun di lapangan, justru membuka celah manipulasi oleh oknum birokrasi lokal.

Banyak sekolah penerima program sebenarnya diberi kewenangan untuk memilih konsultan perencana, pengawas, hingga pelaksana pekerjaan. Tetapi, praktik di lapangan menunjukkan hal berbeda. Sejumlah oknum di Dinas Pendidikan justru ikut campur dengan menempatkan orang-orang tertentu dan secara halus “menginstruksikan” kepala sekolah untuk bekerja sama dengan pihak-pihak yang sudah mereka tentukan.

Kondisi ini patut dicurigai sarat kepentingan dan membuka ruang kolusi. Bahkan, intervensi semacam ini dapat merusak semangat transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana pendidikan. Padahal, dalam aturan, hanya pihak-pihak yang memiliki sertifikasi profesi resmi yang boleh menjadi perencana maupun pelaksana proyek konstruksi pendidikan.

Sayangnya, keterlibatan asosiasi jasa konstruksi sebagai pemilik legitimasi profesi justru diabaikan. Akibatnya, banyak sekolah kebingungan mencari tenaga ahli yang kompeten, karena akses terhadap profesional yang memenuhi standar sangat terbatas. Celah ini dimanfaatkan oleh oknum dinas untuk “menawarkan” personel tertentu yang sebenarnya sudah mereka siapkan.

Tidak hanya itu, cara kementerian dalam menjalankan program ini juga terkesan terburu-buru. Dana ratusan miliar rupiah disalurkan dalam waktu yang sangat sempit, membuat banyak sekolah kesulitan memenuhi persyaratan teknis dan administrasi. Ketergesaan ini diperparah dengan minimnya dukungan teknis yang seharusnya disiapkan pemerintah bagi sekolah sebagai pelaksana di lapangan.

Semua situasi ini menempatkan kepala sekolah dalam posisi sulit: mereka diminta bertanggung jawab terhadap pelaksanaan proyek bernilai besar, namun tanpa dukungan waktu, tenaga ahli, dan kebebasan memilih mitra kerja secara objektif.

Apabila kondisi ini dibiarkan, maka revitalisasi pendidikan hanya akan menjadi proyek formalitas yang rawan dimanfaatkan oleh segelintir orang. Harapan perbaikan kualitas pendidikan bisa berubah menjadi ladang baru praktik kolusi dan korupsi yang merugikan negara dan mencederai kepercayaan publik.

Sudah saatnya pemerintah pusat — khususnya Kementerian Pendidikan — mengevaluasi total pola pelaksanaan program ini. Dinas Pendidikan di daerah juga harus diberi batasan peran yang jelas agar tidak terjadi penyimpangan. Dan yang lebih penting lagi, aparat penegak hukum seperti Kejaksaan harus hadir sejak awal untuk melakukan pengawasan preventif.

Karena jika proyek pendidikan pun tak luput dari permainan kotor, maka kita patut kembali bertanya: Sudut mana lagi yang tidak ada korupsi?Editor|MSar|Suarakyat.com.

 

banner 325x300

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *