80 Tahun Indonesia Merdeka, Mari Pekikkan “MERDEKAAAA”

80 Tahun Indonesia Merdeka, Mari Pekikkan “MERDEKAAAA”

Gambar: Muhamad Sarman |Redaktur Suarakyat.com

Oleh: Muhamad Sarman
Suarakyat.com

Pekik “Merdekaaa!” kembali menggema dari pelosok kampung sampai ke pusat kota. Bendera merah putih berkibar di tiang-tiang bambu dan jalan raya. Lomba-lomba rakyat mulai digelar, dari panjat pinang hingga tarik tambang. Suasana suka cita itu seperti biasa: meriah. Tapi di balik semua hingar bingar itu, ada satu pertanyaan yang mengusik nurani—benarkah kita semua sudah benar-benar merdeka?

Kini Indonesia menginjak usia 80 tahun kemerdekaan, namun masih banyak rakyat kecil, kawulo alit, wong cilik, yang belum merasakan arti merdeka dalam hidup sehari-hari. Merdeka bukan sekadar bebas dari penjajah asing, tapi juga soal terbebas dari belenggu ketidakadilan, kemiskinan struktural, dan ketimpangan sosial yang makin nyata di era digital ini.

Merdeka dalam Tanda Kutip

Di era ini, yang disebut sebagai zaman informasi dan kemajuan, justru rakyat makin gamang. Tayangan televisi, media sosial, dan pemberitaan politik hanya menampilkan debat, adu kuat kepentingan, saling jegal, dan pencitraan elite. Rakyat hanya jadi penonton, bahkan sering jadi korban.

Isu-isu fundamental seperti dugaan ijazah palsu pejabat publik, misalnya, seolah menjadi mainan elite. Tidak kunjung selesai. Padahal, ini bukan sekadar soal pribadi, tapi menyangkut hak rakyat untuk tahu dan memastikan kejujuran pemimpinnya. Mengapa harus takut mengungkap kebenaran, jika memang benar?

Jika urusan kejujuran saja begitu alot dan penuh intrik, bagaimana mungkin kita berharap kemerdekaan ini bisa dijalankan dalam semangat sila ke-5 Pancasila: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia?

Yang Merdeka dan Yang Masih Terjajah

Ada dua Indonesia hari ini:

Indonesia yang gemerlap di pusat kekuasaan, dengan para elite saling pamer pengaruh dan jabatan.

Dan Indonesia yang berkeringat, berdesakan di pasar, hidup dari upah harian, dan bingung bayar listrik atau uang sekolah anak.

Yang satu merasa merdeka dengan fasilitas dan koneksi politik. Yang satu lagi hanya bisa bertanya: “Kapan kami benar-benar merdeka?”

Harapan: Merdeka dengan Kejujuran

Menjelang 17 Agustus ke-80 ini, mari kita peringati bukan hanya dengan lomba dan bendera, tapi juga dengan refleksi kebangsaan. Rakyat ingin melihat kejujuran yang tak ditutupi hukum, transparansi yang tak ditunda, dan keberpihakan yang nyata terhadap wong cilik.

Jangan jadikan hukum sebagai tameng melindungi elite, tapi jadikan hukum sebagai pembebas dari rasa waswas, dari kebimbangan, dari ketidakadilan.

Jika para pemimpin bangsa ini benar ingin menghormati kemerdekaan, buktikan dengan keberanian moral, bukan sekadar seremoni formal.

Karena kemerdekaan sejati adalah saat setiap rakyat—tak peduli kecil atau besar, miskin atau kaya—merasa dilindungi, dihargai, dan didengar oleh negaranya.

 

Disclaimer:
Opini ini ditulis sebagai bentuk ekspresi kebebasan berpendapat sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E ayat (3) dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Tulisan ini mencerminkan sudut pandang dan aspirasi rakyat kecil terhadap situasi kebangsaan menjelang peringatan Hari Kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia.

Segala pendapat, kritik, dan harapan yang disampaikan tidak bermaksud menyerang pribadi atau kelompok tertentu, melainkan sebagai bagian dari ikhtiar membangun demokrasi yang sehat, terbuka, dan bertanggung jawab.

Jika terdapat perbedaan pandangan, mari kita jadikan itu sebagai ruang dialog yang produktif demi kemajuan bangsa bersama.

Exit mobile version