Hukum Ditegakkan Tanpa Taring? Kasus Silfester Matutina dan Tanda Tanya atas Eksekusi Putusan MA
Pendahuluan: Keadilan sebagai Janji Konstitusional:
Konstitusi Indonesia menegaskan bahwa “semua orang sama di hadapan hukum” (Pasal 27 ayat (1) UUD 1945). Prinsip equality before the law ini menjadi fondasi negara hukum, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Namun, bagaimana bila suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) tidak juga dieksekusi? Apakah keadilan masih berlaku bagi semua warga negara? Kasus Silfester Matutina — aktivis dan Ketua Solidaritas Merah Putih (Solmet) — menjadi sorotan karena putusan kasasi Mahkamah Agung yang menjatuhkan hukuman penjara 1 tahun 6 bulan terhadap dirinya belum pernah dijalankan sejak tahun 2019.
Kronologi Kasus: Dari Laporan Hukum ke Putusan MA:
Kasus bermula pada Mei 2017, ketika Silfester Matutina dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh 100 pengacara atas dugaan pencemaran nama baik terhadap mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Tuduhan bermula dari pernyataan Silfester yang beredar luas di media, yang mengaitkan JK dengan dugaan intervensi dalam dinamika Pilpres 2019 — sebuah tuduhan yang dianggap tidak berdasar dan menyerang reputasi pribadi.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam amar putusannya pada Juli 2018 menjatuhkan hukuman 1 tahun penjara kepada Silfester. Ia terbukti bersalah melanggar Pasal 311 ayat (1) KUHP, yakni menyebarkan fitnah terhadap seseorang dengan tuduhan yang tidak bisa dibuktikan.
Tak terima, pihak terdakwa mengajukan banding, namun Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan PN. Saat kasasi diajukan ke Mahkamah Agung, hasilnya justru memperberat hukuman. MA dalam Putusan Nomor 287 K/Pid/2019 tanggal 20 Mei 2019 menyatakan terdakwa bersalah dan menjatuhkan vonis 1 tahun 6 bulan penjara.
Putusan kasasi ini bersifat final dan mengikat, tidak dapat lagi diganggu gugat secara hukum. Secara normatif, Kejaksaan Negeri sebagai eksekutor harus melaksanakan eksekusi sesuai kewenangannya di bawah KUHAP dan UU Kejaksaan.
Fakta Mengejutkan: Belum Dieksekusi Hingga 2025:
Meski telah berkekuatan hukum tetap selama lebih dari 6 tahun, hingga 1 Agustus 2025, Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan belum juga mengeksekusi vonis tersebut. Silfester Matutina belum menjalani masa penahanan. Hal ini menimbulkan pertanyaan publik: Mengapa vonis inkracht ini belum dilaksanakan? Siapa yang bertanggung jawab?
Kasus ini kemudian memicu polemik luas di kalangan masyarakat hukum dan aktivis keadilan.
Desakan dari Masyarakat Sipil: Roy Suryo dan Tim Advokasi Bertindak:
Pada 31 Juli 2025, Roy Suryo, mantan Menpora sekaligus tokoh publik, bersama Tim Advokasi Anti-Kriminalisasi Akademisi dan Aktivis, mendatangi Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Mereka menyampaikan permintaan eksekusi terhadap putusan MA atas Silfester.
Dalam pernyataannya kepada media, Roy menegaskan:
“Ini bukan soal pribadi, tapi soal konsistensi hukum. Kalau sudah inkrah, maka wajib dilaksanakan. Jangan sampai hukum hanya tegas kepada rakyat kecil, tapi tumpul kepada elite.”
— Roy Suryo, 31 Juli 2025
Surat permintaan resmi juga telah diserahkan ke Kejari Jaksel, namun hingga berita ini ditulis, belum ada tanggapan resmi dari pihak Kejaksaan.
Analisis Hukum: Mengapa Eksekusi Penting?:
Dalam konteks hukum pidana Indonesia, putusan pengadilan yang telah inkracht wajib dieksekusi oleh Kejaksaan, sesuai Pasal 270 KUHAP:
> “Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa.”
Artinya, Kejaksaan Negeri memiliki kewajiban hukum, bukan sekadar wewenang opsional. Ketidakpatuhan atas putusan MA dapat ditafsirkan sebagai bentuk pengabaian terhadap supremasi hukum, bahkan obstruction of justice secara administratif.
Jika eksekusi dibiarkan tak terlaksana tanpa penjelasan yang sah, maka masyarakat berhak mempertanyakan:
Apakah ada perlakuan istimewa terhadap terdakwa karena afiliasi politik?
Apakah prinsip keadilan masih hidup dalam praktik hukum kita?
Refleksi Sosial: Saat Hukum Menjadi Simbol, Bukan Instrumen:
Fenomena seperti ini mengingatkan publik pada adagium lama:
> “Hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas.”
Bila seorang tokoh seperti Silfester — yang telah terbukti bersalah menurut putusan MA — tidak kunjung ditahan, maka ini bisa meruntuhkan kepercayaan rakyat terhadap keadilan. Di sisi lain, rakyat biasa bisa langsung ditahan hanya dengan putusan tingkat pertama.
Ketimpangan ini bertolak belakang dengan prinsip non-discriminatory enforcement of law — hukum harus diterapkan tanpa melihat jabatan, jaringan, atau posisi sosial.
Penutup: Publik Menanti Kepastian
Keadilan bukan sekadar semboyan dalam teks undang-undang. Ia harus diwujudkan melalui tindakan nyata. Kasus Silfester Matutina adalah ujian terbuka bagi aparat penegak hukum: apakah mereka berdiri untuk semua warga negara, atau hanya untuk mereka yang punya akses dan kuasa?
Suara rakyat tak akan diam. Suara hukum harus menggema untuk semua.
Redaksi SuaraRakyat.com akan terus mengawal isu ini hingga kejelasan eksekusi hukum ditegakkan.
Redaksi Suarakyat.com
Disclaimer:
Artikel ini disusun berdasarkan informasi yang tersedia dari sumber-sumber terpercaya dan telah dipublikasikan secara terbuka di berbagai media nasional serta dokumen resmi Mahkamah Agung. Redaksi SuaraRakyat.com tidak bermaksud menyerang pribadi atau kelompok manapun, melainkan menjalankan fungsi kontrol sosial dan penyampaian informasi publik demi transparansi hukum.
Apabila terdapat pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan ini, dipersilakan mengajukan hak jawab atau klarifikasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Redaksi terbuka untuk menyampaikan koreksi, klarifikasi, atau tanggapan resmi dari pihak terkait.