Dewan Pers Indonesia dan SPRI Ajukan 8 Tuntutan Kemerdekaan Pers kepada Presiden
Jakarta, Suarakyat.com – Dewan Pers Indonesia (DPI) bersama Serikat Pers Republik Indonesia (SPRI) resmi melayangkan delapan tuntutan kepada Presiden Prabowo Subianto. Tuntutan ini dinilai sebagai langkah penting untuk mengembalikan kemerdekaan pers serta menghentikan dugaan penyalahgunaan kewenangan oleh Dewan Pers saat ini.
Ketua Umum SPRI sekaligus Ketua DPI hasil Kongres Pers Indonesia 2019, Hence Mandagi, menegaskan bahwa kepemimpinan Dewan Pers selama ini yang bukan berasal dari kalangan wartawan profesional telah menimbulkan kerusakan pada ekosistem pers. Menurutnya, kondisi tersebut berdampak pada etika, independensi, dan kredibilitas pers nasional.
“Dampak negatif dari kepemimpinan yang tidak memahami profesi wartawan sangat luas. Bahkan terjadi pembiaran atas praktik jurnalistik yang tidak profesional, seperti eksploitasi isu demonstrasi dan kerusuhan di media arus utama tanpa memperhatikan kode etik,” ujar Mandagi.
Baca juga :
DPR RI Jawab Tuntutan Aksi 17+8, Sepakati Pemangkasan Tunjangan dan Moratorium Kunker Luar Negeri
Adapun delapan tuntutan yang disampaikan DPI dan SPRI terbagi dalam tiga aspek utama:
1. Keanggotaan dan Struktur Dewan Pers
– Melindungi hak wartawan untuk bebas memilih organisasi pers sesuai UU No. 40/1999.
– Memberi kesempatan setara bagi wartawan dan organisasi pers non-konstituen untuk mencalonkan diri dan memilih anggota Dewan Pers.
– Membatalkan peraturan sepihak terkait konstituen Dewan Pers.
– Membatalkan SK Presiden tentang hasil pemilihan anggota Dewan Pers periode 2025–2028.
2. Sertifikasi dan Regulasi
– Menindak penerbitan Sertifikat Kompetensi Wartawan yang dinilai ilegal.
– Meminta BNSP menertibkan pemberian lisensi lembaga penguji kompetensi oleh Dewan Pers yang dianggap tidak sah.
3. Peran Pemerintah
– Dukungan penuh pemerintah dalam penataan pers nasional, termasuk membersihkan Dewan Pers dari oknum elit dan eks pejabat yang disebut “penumpang gelap”.
Mandagi juga menyoroti ketidakadilan distribusi anggaran iklan dan kerjasama publikasi yang lebih banyak terserap media besar di Jakarta, sementara media lokal diabaikan. Hal ini, menurutnya, membuat pers terjebak dalam pola ketergantungan pada kekuasaan dan mengurangi fungsi kontrol sosial terhadap praktik korupsi.
“Kami berharap Presiden Prabowo mengambil langkah tegas demi menyelamatkan pers Indonesia, agar tidak lagi dijadikan alat segelintir elit, tetapi benar-benar menjadi milik masyarakat pers,” pungkas Mandagi.
Sebagai catatan, DPI merupakan wadah komunikasi sejumlah organisasi pers di bawah Sekber Pers Indonesia, sementara SPRI adalah organisasi pers yang berdiri sejak 1998 dan ikut berperan dalam penyusunan UU Pers 1999.