Mimpi Reformasi Polri yang Terganjal Anggaran
Oleh: Hence Mandagi
Ketua Umum Serikat Pers Republik Indonesia & Ketua LSP Pers Indonesia(
Suarakyat.com – Insiden tragis yang menewaskan Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online pada akhir Agustus lalu, memicu kemarahan publik dan ketegasan pemerintah. Peristiwa ini menjadi momentum krusial yang mendorong Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, mewacanakan pembentukan tim reformasi kepolisian guna memastikan akuntabilitas dan profesionalisme Polri.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pun langsung bergerak cepat dengan membentuk Tim Transformasi Reformasi Polri. Tim ini beranggotakan 52 perwira tinggi dan menengah serta dipimpin Komjen Pol. Chryshnanda Dwilaksana.
Namun, wacana reformasi Polri sebenarnya sudah bergulir sejak lama, terutama pasca-Orde Baru. Setiap era kepemimpinan memiliki fokusnya masing-masing.
Habibie – Gus Dur: memisahkan Polri dari ABRI, menjadikannya entitas sipil.
Megawati: melahirkan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri sebagai landasan hukum modern.
SBY: fokus profesionalisme, meski tetap dihantui kritik soal citra dan korupsi.
Jokowi: memperkenalkan konsep Presisi sebagai kerangka kerja perubahan budaya internal.
Prabowo: melanjutkan estafet reformasi dengan tim khusus percepatan transformasi Polri.
Anggaran Jadi Penghalang
Reformasi Polri tidak bisa dilepaskan dari ketersediaan anggaran. Dari tingkat Polsek hingga Polres, dana operasional untuk menangani laporan masyarakat sangat terbatas.
Sepanjang 2024, ada 325.150 kasus kejahatan yang ditangani Polri. Banyak penyidik terpaksa mengeluarkan uang pribadi agar perkara tidak dianggap mandek.
Baca juga :
Kapolri Tinjau SPPG Pabelan, Pastikan Kualitaso MBG dengan Pengawasan Ketat
Jika lalai, sanksi berat menanti: mulai dari teguran, mutasi, hingga pemecatan. Tidak jarang, penyidik harus tetap bekerja meski kebutuhan keluarga terabaikan.
Minimnya anggaran berdampak serius:
Penyidikan mandek, terutama kasus kecil seperti penipuan dan pencurian.
Aduan masyarakat terabaikan, membuat publik kehilangan kepercayaan.
Penyalahgunaan wewenang, termasuk pungli atau “damai di tempat”.
Khusus kasus narkoba, ancaman hukuman berat kerap dimanfaatkan oknum untuk mencari keuntungan pribadi.
Reformasi Butuh Dukungan Nyata
Tanpa dana yang memadai, profesionalisme, transparansi, dan akuntabilitas Polri sulit diwujudkan. Karena itu, Presiden bersama DPR harus merevisi alokasi anggaran Polri.
Investasi pada anggaran penyidikan sesungguhnya adalah investasi pada kepercayaan publik. Dengan dukungan memadai, Polri bisa bekerja profesional, transparan, dan akuntabel.
Keajaiban di Tengah Keterbatasan
Meski anggaran seret, Polri masih mampu mencatat capaian pada 2024. Dari 325.150 kasus, 244.975 kasus berhasil diselesaikan atau 75,34 persen.
Kasus yang diselesaikan lewat Restorative Justice juga meningkat menjadi 21.063 perkara, naik 15,89 persen dibanding 2023. Jenis kasus terbanyak adalah pencurian dengan pemberatan, penganiayaan, dan pencurian biasa.
Selain itu, Polri juga berhasil mengungkap 621 kasus TPPO, 42.824 kasus narkoba, serta 45 kasus investasi ilegal.
Semua ini terwujud berkat “keajaiban” para penyidik yang rela berkorban, bahkan menggunakan uang pribadi demi melayani masyarakat.
Mimpi besar reformasi Polri hanya bisa terwujud jika negara benar-benar hadir dengan anggaran yang cukup. Jika tidak, reformasi akan terus terganjal, sementara beban berat tetap ditanggung oleh penyidik di lapangan.