Ketika Adu Domba Jadi Tontonan dan Debat Elit Tak Lagi Menyentuh Wong Cilik
Di era digital ini, kita menyaksikan degradasi moral yang begitu nyata—di mana media sosial, khususnya platform seperti TikTok, menjadi panggung utama bagi saling hujat, adu mulut, bahkan perang kata-kata kotor yang tak lagi mengenal etika. Orang dengan mudah mengumbar makian, mengucapkan kata-kata jorok dengan lantang, seolah tak ada lagi ruang bagi sopan santun atau nalar sehat. Ironisnya, semua itu hanya demi membela opini—kadang hanya soal dugaan ijasah palsu, tanpa peduli kebenaran, tanpa keinginan mencari keadilan.
Di layar kaca, kita disuguhi debat politik yang mempertontonkan kecanggihan argumen para elit. Mereka adu kepintaran, adu strategi, adu kata-kata. Tapi di balik gemerlap debat itu, rakyat kecil—yang oleh Presiden ke-5 Republik Indonesia, Megawati Soekarnoputri, disebut sebagai wong cilik—tetap bergelut dengan harga beras yang melambung, listrik yang makin mahal, dan biaya hidup yang tak kunjung ramah.
Perdebatan para elit itu tak menyentuh akar rumput. Ia jadi pesta wacana yang berputar-putar di menara gading, tak pernah menetes jadi kebijakan yang berpihak. Sementara rakyat kecil tak butuh debat, mereka butuh perubahan nyata.
Ketua Umum PBNU, KH. Yahya Cholil Staquf, pernah mengingatkan bahwa demokrasi bukan sekadar pertarungan kekuasaan, melainkan alat untuk mewujudkan keadilan sosial. Maka ketika demokrasi justru melahirkan polarisasi tanpa arah dan menjauh dari kepentingan rakyat, kita patut bertanya: demokrasi ini untuk siapa?
Adu domba makin menjadi karena ruang diskusi kita kehilangan akal sehat. Kebebasan berekspresi tanpa batas berubah jadi kebebasan mencaci. Akibatnya, solidaritas sebagai bangsa makin rapuh. Padahal, dalam sejarah kita, bangsa ini pernah besar karena persatuan. Hari ini, kita makin mudah dipecah belah, dan sayangnya, kita menikmatinya.
Sudah saatnya kita bersatu kembali, dengan kesadaran bahwa perubahan tidak lahir dari ribut-ribut di layar, melainkan dari keberanian mendengar jeritan wong cilik dan keberpihakan pada rakyat.|MSar|Suarakyat.com
Disclaimer:
Opini ini ditulis semata-mata sebagai refleksi sosial dan tidak bermaksud menyerang pribadi, kelompok, atau tokoh mana pun. Kutipan dari tokoh nasional digunakan dalam konteks penghormatan terhadap gagasan dan pandangan mereka, bukan sebagai bentuk dukungan atau penolakan politik. Suarakyat.com berkomitmen menjaga ruang publik yang sehat, terbuka, dan beretika dalam menyampaikan pendapat.