Kehidupan dalam Bayang-Bayang Postruth: Ketika Kebenaran Dikalahkan oleh Citra
Di era ini, kita hidup bukan lagi di antara fakta dan kebohongan yang jelas batasnya. Setiap hari, kehidupan kita diwarnai abu-abu pekat—atau bahkan hitam—oleh rangkaian kebohongan yang dibungkus rapi dengan pencitraan. Ini adalah zaman postruth, ketika emosi dan opini pribadi lebih dipercaya ketimbang kenyataan objektif. Dan yang menyedihkan, kita mulai terbiasa hidup di dalamnya.
Media massa memainkan perannya. Pengiklan memoles produk dengan ilusi. Politisi menjual mimpi lewat narasi yang direkayasa. Bahkan orang-orang di sekitar kita—pasangan, teman, rekan kerja—tidak lagi segan menyembunyikan kebenaran demi pencitraan pribadi. Siapa yang tampil meyakinkan, dialah yang dianggap benar. Bukan siapa yang jujur.
Kita seperti tenggelam dalam dunia sandiwara massal, di mana setiap individu dipaksa tampil “baik” di permukaan, meski dalamnya rapuh oleh kebohongan. Tak peduli muda atau tua, semua kini tampak terbiasa menyembunyikan fakta demi gengsi dan kepentingan.
Lihat saja isu ijazah palsu yang belakangan marak. Bukan hanya satu-dua oknum yang bermain api. Fenomena ini menguak tabir betapa luasnya kebohongan yang dijadikan batu loncatan untuk mengejar jabatan, status sosial, atau kepercayaan publik. Ironisnya, masyarakat pun terbagi antara yang membela karena fanatisme, dan yang diam karena takut. Padahal, kebenaran tak bisa tumbuh di tanah yang diinjak-injak oleh kebohongan.
Namun di tengah kekacauan ini, masih ada secercah harapan: masyarakat yang rindu akan kebenaran sejati, yang mendambakan kejujuran yang mutlak. Mereka tidak ingin kekuasaan dibangun di atas manipulasi. Mereka hanya ingin kejelasan, keadilan, dan keterbukaan.
Sudah saatnya suara mereka diberi ruang dan waktu. Mereka tidak boleh ditakut-takuti dengan ancaman hukum, seolah mempertanyakan itu adalah kejahatan. Jika memang ijazah itu asli, mengapa harus takut? Justru dengan menjawab terbuka dan jujur, tanpa menyembunyikan data, tanpa marah-marah, itulah sikap ksatria yang sesungguhnya. Kesampingkan ego dan kepentingan pribadi. Karena menjawab pertanyaan masyarakat secara terbuka jauh lebih terhormat daripada membiarkan spekulasi tumbuh liar.
Dan seandainya sudah dijelaskan, sudah dibuktikan keasliannya, tetapi masih ada yang bersikukuh menuduh tanpa dasar — silakan, saat itulah jalur hukum boleh ditempuh. Karena hukum tidak boleh dijadikan tameng bagi kebenaran yang disembunyikan, tapi pelindung bagi kebenaran yang ditegakkan.
Kita butuh membangun kembali kepercayaan pada nilai-nilai kejujuran, bukan pada pencitraan kosong. Mungkin ini tidak akan mengubah semuanya secara cepat, tapi dari sanalah awal perlawanan terhadap dunia yang penuh tipu daya ini dimulai.
[Redaksi Suarakyat.com]
Disclaimer:
Gambar ini adalah ilustrasi konseptual untuk tujuan edukasi dan refleksi sosial. Tokoh dan elemen di dalamnya bersifat fiktif dan tidak merujuk pada individu atau kelompok tertentu. Konten ini tidak dimaksudkan untuk menyerang pihak mana pun, melainkan sebagai ajakan berpikir kritis di era post-truth yang penuh manipulasi informasi. Harap digunakan dengan bijak dan bertanggung jawab.